Thailand dan Kamboja di Ambang Perang: Ketegangan Meningkat, Dunia Waspada

allintimes.com – Ketegangan di Asia Tenggara kembali memuncak setelah konflik perbatasan antara Thailand dan Kamboja memicu kekhawatiran terjadinya perang terbuka. Dalam beberapa pekan terakhir, hubungan diplomatik kedua negara semakin meruncing, terutama setelah serangkaian insiden militer di kawasan perbatasan.

Dengan masing-masing negara mulai mengerahkan kekuatan militer dan mengambil langkah tegas, situasi di kawasan pun semakin tidak stabil.

Kondisi ini menimbulkan keprihatinan tidak hanya di kawasan ASEAN, tetapi juga di dunia internasional. Banyak pihak khawatir bahwa ketegangan yang meningkat ini dapat meletus menjadi konflik bersenjata yang lebih luas jika tidak segera diredam.

Akar Ketegangan Perbatasan Thailand-Kamboja

Ketegangan terbaru ini dipicu oleh bentrokan singkat yang terjadi di daerah perbatasan akhir Mei 2025 lalu. Dalam insiden itu, satu tentara Kamboja dilaporkan tewas.

Meskipun kedua negara memiliki sejarah panjang dalam sengketa wilayah, khususnya terkait dengan wilayah yang berada di sekitar candi kuno Preah Vihear, konflik kali ini menyentuh dimensi yang lebih luas—mulai dari masalah kejahatan lintas negara hingga ketegangan politik domestik masing-masing negara.

Pada Kamis (26/6/2025), Perdana Menteri Thailand, Paetongtarn Shinawatra, melakukan kunjungan mendadak ke kota perbatasan Aranyaprathet, provinsi Sa Kaeo, yang berbatasan langsung dengan Poipet, Kamboja. Dalam kunjungannya, ia menyampaikan bahwa pemerintah Thailand tengah meninjau dampak sosial dan ekonomi dari keputusan untuk menutup seluruh penyeberangan darat ke Kamboja.

Di sisi lain, mantan Perdana Menteri Kamboja, Hun Sen, juga melakukan inspeksi militer ke provinsi Oddar Meanchey yang berbatasan langsung dengan Thailand. Dengan mengenakan seragam militer dan tiba menggunakan helikopter, gesture Hun Sen ini dianggap sebagai sinyal tegas kesiapan militer Kamboja dalam menghadapi segala kemungkinan.

Balas-Membalas Aksi dan Diplomasi Membeku

Sejak insiden bentrokan tersebut, berbagai tindakan balasan dilakukan oleh kedua negara. Thailand menutup sebagian besar pos pemeriksaan di sepanjang perbatasan sepanjang 817 kilometer. Tidak hanya itu, negara Gajah Putih ini juga menghentikan seluruh kendaraan, wisatawan, dan barang dagangan dari Kamboja.

Kamboja pun merespons dengan menghentikan seluruh impor bahan bakar dan gas dari Thailand. Situasi ini menjadi semakin panas ketika PM Paetongtarn dikabarkan menyebut Hun Sen dengan sapaan pribadi ‘paman’ dalam panggilan yang bocor ke publik. Sebutan ini dinilai merendahkan oleh sebagian kalangan militer Thailand, terutama karena kedekatan ayah PM Thailand dengan Hun Sen yang merupakan tokoh senior politik Kamboja.

Panggilan tersebut menuai kontroversi dan memicu tekanan politik besar. Partai Bhumjaithai, salah satu partai koalisi utama dalam pemerintahan Thailand, langsung menarik dukungan mereka dan mengancam akan melayangkan mosi tidak percaya terhadap Paetongtarn dan kabinetnya. Tak hanya itu, PM Thailand kini berada dalam pengawasan yudisial yang berpotensi mengancam posisinya.

Kekuatan Militer: Siapa yang Lebih Unggul?

Dalam konteks militer, Thailand secara signifikan unggul atas Kamboja. Berdasarkan data Global Firepower (GFP) 2025, Thailand berada di peringkat ke-25 dunia dengan skor Power Index 0,4536. Sementara itu, Kamboja berada jauh di posisi 95 dengan skor 2,0752. Dalam indeks ini, skor lebih rendah menunjukkan kekuatan militer yang lebih besar.

Jumlah Personel dan Anggaran Militer:

  • Thailand: Memiliki sekitar 360.850 personel militer aktif dengan anggaran pertahanan mencapai US$5,9 miliar (sekitar Rp 95,6 triliun).

  • Kamboja: Memiliki sekitar 221.000 personel dengan anggaran militer US$860 juta (sekitar Rp 13,9 triliun).

Angkatan Laut dan Udara:
Thailand juga memiliki keunggulan di sektor laut dan udara. Angkatan laut mereka dilengkapi dengan kapal fregat, kapal selam, dan armada patroli laut yang cukup besar. Sementara itu, angkatan udara Thailand memiliki sejumlah pesawat tempur canggih buatan Amerika Serikat dan Swedia seperti F-16 dan JAS 39 Gripen.

Angkatan Darat:
Meski unggul secara umum, keunggulan darat antara kedua negara cenderung seimbang. Thailand lebih unggul dari segi kendaraan bersenjata dan artileri, sedangkan Kamboja memiliki jumlah tank dan peluncur roket yang lebih banyak. Dalam konflik di medan darat, kedua negara berpotensi saling menyulitkan.

Dampak Konflik Terhadap Stabilitas Kawasan

Konflik bersenjata antara Thailand dan Kamboja bukan hanya akan menjadi bencana bagi kedua negara, tetapi juga membawa dampak signifikan bagi stabilitas kawasan Asia Tenggara. ASEAN sebagai organisasi regional selama ini menekankan pentingnya penyelesaian damai terhadap konflik internal anggotanya. Namun, dalam kasus ini, peran ASEAN masih terlihat minim.

Selain itu, konflik juga akan berpengaruh terhadap jalur perdagangan lintas batas. Penutupan pos perbatasan dan gangguan logistik bisa berdampak langsung pada sektor perdagangan, pariwisata, dan mobilitas tenaga kerja. Wilayah perbatasan seperti Aranyaprathet dan Poipet selama ini dikenal sebagai jalur ekonomi aktif yang melibatkan ribuan pelintas setiap hari.

Reaksi Internasional dan Harapan Perdamaian

Sejumlah negara tetangga seperti Vietnam dan Laos turut memantau dengan seksama perkembangan situasi. Beberapa negara bahkan sudah menyuarakan keprihatinan mereka, mendorong kedua negara untuk menahan diri dan kembali ke jalur diplomatik.

Namun, solusi damai tampaknya tidak akan mudah diwujudkan jika masing-masing pihak masih memilih jalan kekuatan. Apalagi, dinamika politik dalam negeri baik di Thailand maupun Kamboja sedang tidak stabil. Tekanan oposisi, konflik internal partai, dan upaya kudeta politik membuat suasana semakin rumit.

Ancaman Perang Nyata atau Sekadar Manuver?

Meskipun banyak pihak berharap konflik ini tidak berubah menjadi perang terbuka, fakta di lapangan menunjukkan adanya manuver militer aktif. Kunjungan pejabat tinggi militer ke wilayah perbatasan, pernyataan agresif media nasional masing-masing negara, serta mobilisasi tentara di berbagai titik strategis—semuanya menjadi sinyal peringatan bahwa situasi sudah sangat genting.

Dalam konteks sejarah, konflik bersenjata antara Thailand dan Kamboja bukanlah hal baru. Pada tahun 2008-2011, kedua negara terlibat bentrokan bersenjata di sekitar kompleks candi Preah Vihear yang memakan korban jiwa dan kerusakan infrastruktur.

Namun kini, dengan situasi global yang lebih kompleks dan dunia yang tengah bergulat dengan ketegangan geopolitik lain seperti di Timur Tengah dan Eropa Timur, potensi konflik regional di Asia Tenggara bisa dengan cepat menarik perhatian global.

ASEAN dan Indonesia Perlu Ambil Peran

Sebagai tetangga langsung, Indonesia dan negara-negara ASEAN lain memiliki tanggung jawab moral dan strategis untuk mencegah konflik bersenjata antara Thailand dan Kamboja. Inisiatif diplomatik melalui ASEAN perlu segera digalakkan untuk menurunkan ketegangan.

Pemerintah Indonesia bisa mendorong pertemuan darurat tingkat menteri luar negeri ASEAN untuk membuka dialog antara Bangkok dan Phnom Penh. Selain itu, menghidupkan kembali mekanisme penyelesaian sengketa perbatasan secara regional dapat menjadi langkah awal untuk mencegah konflik meluas.

Kesimpulannya, meski perang belum terjadi secara resmi, Thailand dan Kamboja kini berada di titik paling kritis dalam sejarah hubungan mereka. Dengan situasi politik domestik yang rapuh dan pergesekan militer di lapangan, semua pihak harus bergerak cepat untuk mencegah pecahnya perang yang akan membawa dampak besar bagi Asia Tenggara dan dunia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *