Fadli Zon Jamin Tidak Ada Penghapusan Kasus Pemerkosaan 1998 dalam Revisi Sejarah

allintimes.com | JAKARTA – Menteri Kebudayaan Fadli Zon memastikan tidak ada niat untuk menghapus atau menghilangkan narasi pemerkosaan yang terjadi saat kerusuhan Mei 1998 dalam proyek penulisan ulang sejarah Indonesia. Pernyataan ini disampaikan usai Rapat Kerja Komisi X DPR RI pada Rabu (2/7/2025) di Gedung DPR, Senayan, Jakarta.

Klarifikasi Fadli Zon mengenai Pemerkosaan 1998

Saat dikonfirmasi usai acara Festival Gau Maraja Leang-leang di Maros, Sulawesi Selatan, Kamis (3/7), Fadli Zon menanggapi tudingan yang menyebut dia menghilangkan narasi kekerasan seksual dalam revisi sejarah. Ia dengan tegas menyatakan:

“Tidak ada penghapusan. Lihat saja penjelasan saya di DPR kemarin, rinci dan jelas. Penghapusan apa? Tidak ada yang dihapus.”

Dalam rapat sebelumnya, Fadli menyatakan bahwa ia mengakui adanya kekerasan seksual dan pemerkosaan pada 1998, namun mempertanyakan penggunaan istilah “pemerkosaan massal” karena data historis masih dianggap kurang konklusif. Ia mencontohkan bahwa skala massal seperti Nanjing atau Bosnia sulit dibuktikan di Indonesia.

Baca Juga:  Kementerian Kebudayaan Akan Uji Publik Penulisan Ulang Sejarah Indonesia

Pro dan Kontra di DPR

Pernyataan Fadli Zon memicu reaksi keras dari Fraksi PDI Perjuangan. Anggota DPR, Mercy Christi Barends, sangat terluka dan menuntut permintaan maaf. Ia menyatakan mempunyai data dari Komnas Perempuan dan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF).

Rekan separtainya, Maria Yohana Esti Wijayati, mempertegas bahwa pernyataan Fadli menambah luka bagi penyintas semenjak ia ditertidur sambil memukul meja rapat. “Semakin Pak Fadli bicara, rasanya semakin sakit,” ujarnya sambil menegur Fadli untuk berhati-hati.

Esensi Isu Terminologi dan Validitas Data

Fadli menegaskan bahwa soal terminologi merupakan bagian penting historiografi ilmiah. Ia menekankan bahwa revisi sejarah harus bersandar pada bukti hukum dan akademik. Data Komnas Perempuan menunjukkan sekitar 85 laporan kekerasan seksual dan 52 kasus pemerkosaan pada Mei 1998.

Sementara itu, ia mengaku kesulitan menemukan testimoni dari korban lewat laporan investigasi Tempo dan aktivis Sidney Jones. Ini menimbulkan ketidakpastian jumlah dan skala pemerkosaan.

Baca Juga: Fadli Zon Meremehkan Pemerkosaan Massal 1998

Upaya Memperkuat Revisi Sejarah

Fadli menyatakan bahwa penulisan ulang sejarah melibatkan 130 sejarawan dari 34 perguruan tinggi, dengan harapan uji publik akan digelar Juli ini. Hingga saat ini, sudah disusun 10 bab awal yang menyiapkan ranah narasi lintas perspektif.

Ia menolak klaim bahwa revisi ini akan menghapus narasi kelam, sebaliknya ingin memperkuat keterlibatan perempuan dan korban dalam sejarah nasional.

Respons Komnas Perempuan

Komnas Perempuan meminta Fadli Zon meminta maaf dan menghormati kerja TGPF serta lembaga HAM. Dokumen resmi mencatat adanya 85 kekerasan seksual, termasuk 52 pemerkosaan selama peristiwa kerusuhan Mei 1998, yang telah disampaikan kepada Presiden BJ Habibie saat itu.

Komnas menekankan bahwa merujuk dokumen resmi negara, selain menjaga akurasi historiografi, juga berdampak pada proses pemulihan korban.

Catatan Analisis

  • Terminologi “massal” menjadi inti kontroversi. Fadli Zon mempersoalkan batas penggunaan istilah tersebut dalam narasi sejarah.
  • Rekonsiliasi historis menuntut keseimbangan antara bukti dokumen, testimoni korban, dan arsitektur formal sejarah mulus agar tidak menimbulkan polarisasi.
  • Dampak simbolik: pengakuan resmi atas pemerkosaan dan kekerasan seksual penting untuk kepercayaan publik dan hak penyintas.

Ruang diskusi revisi sejarah terus terbuka, dengan penegasan dari Fadli Zon bahwa tidak ada penyingkiran peristiwa kelam, termasuk kekerasan seksual 1998. Namun, tarik ulur terminologi dan validitas data menegaskan perlunya uji publik dan transparansi historis yang kuat agar narasi kebangsaan tidak pincang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *