Natalius Pigai Desak Revisi UU HAM: Perlindungan HAM Harus Ikuti Perkembangan Zaman

allintimes.com – Jakarta, Juli 2025 – Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) menjadi perhatian serius Menteri HAM Natalius Pigai. Menurutnya, undang-undang yang sudah berusia 24 tahun ini sudah tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman, baik di tingkat nasional maupun global.

Oleh karena itu, ia secara tegas mendorong revisi menyeluruh terhadap UU tersebut agar perlindungan HAM di Indonesia menjadi lebih inklusif dan adaptif terhadap tantangan kontemporer.

Dalam konferensi pers di Kantor Kementerian HAM Jakarta pada Kamis, 3 Juli 2025, Pigai membeberkan alasan dan urgensi revisi tersebut. Ia menekankan pentingnya memperluas ruang lingkup aktor pelanggar HAM dan memperkuat peran Komnas HAM sebagai lembaga independen yang mengawasi kebijakan pemerintah.

UU HAM Sudah Ketinggalan Zaman

UU No. 39 Tahun 1999 merupakan produk hukum yang disusun dalam konteks transisi demokrasi Indonesia pasca-Orde Baru. Selama lebih dari dua dekade, UU ini menjadi pijakan utama perlindungan HAM di tanah air. Namun, menurut Pigai, perkembangan dinamika sosial, politik, ekonomi, dan teknologi global telah menyebabkan sejumlah pasal dalam UU tersebut menjadi usang dan tidak lagi relevan.

“Sudah 24 tahun sejak UU ini dibuat. Banyak sekali perkembangan HAM, baik secara global maupun nasional, yang belum diakomodasi,” ujar Pigai.

Menurutnya, tantangan pelanggaran HAM hari ini jauh lebih kompleks dibanding era 1990-an. Mulai dari peran besar korporasi dalam eksploitasi sumber daya alam dan pelanggaran terhadap hak komunitas lokal, hingga individu yang melakukan pelanggaran HAM secara masif dan sistematis melalui jaringan digital, menjadi tantangan yang belum tersentuh dalam regulasi HAM nasional.

Perluasan Aktor Pelanggar HAM: Tidak Hanya Pemerintah

Salah satu poin terpenting dalam usulan revisi ini adalah perluasan definisi aktor pelanggaran HAM. Selama ini, UU HAM lebih banyak berfokus pada pelanggaran yang dilakukan oleh state actors atau aparat negara. Namun Pigai menekankan bahwa saat ini pelanggaran HAM juga banyak dilakukan oleh pihak non-negara, seperti perusahaan besar dan individu.

“Sekarang mengalami pergeseran ke non-state actors. Ada pelanggaran HAM oleh korporasi maupun individu yang bekerja secara terstruktur dan sistematis,” tegasnya.

a. Korporasi Bisa Jadi Pelaku Pelanggaran HAM

Pigai menyoroti bahwa praktik eksploitasi oleh perusahaan terhadap alam dan masyarakat sekitar dapat berujung pada pelanggaran HAM berat, seperti perampasan lahan, pencemaran lingkungan, pelanggaran hak buruh, hingga diskriminasi.

Ia menambahkan bahwa saat ini isu HAM dalam dunia bisnis di Indonesia baru diakomodasi dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres), belum diatur dalam undang-undang.

“Di Indonesia, isu bisnis dan HAM baru masuk ke dalam Perpres. Sementara pelaku bisnis belum secara jelas diatur dalam UU HAM,” ujar Pigai.

b. Individu Sebagai Pelanggar HAM

Selain itu, Pigai juga menyoroti pelanggaran HAM yang dilakukan oleh individu, seperti ujaran kebencian berbasis SARA, doxing, cyberbullying, hingga kekerasan seksual, yang kerap dilakukan secara sistematis dan terstruktur. Menurutnya, bentuk-bentuk pelanggaran ini tidak bisa diremehkan dan harus dimasukkan ke dalam kerangka hukum HAM nasional.

Progres Revisi UU HAM: Sudah 60 Persen Rampung

Kementerian HAM saat ini telah menyusun draf awal revisi UU HAM. Menurut Pigai, proses penyusunan sudah mencapai 60 persen dan mencakup Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) serta naskah akademik.

Namun, ia menegaskan bahwa pihaknya tidak ingin tergesa-gesa dalam merampungkan draf ini. Sebab, sisa 40 persen akan dibuka untuk partisipasi publik agar proses revisi bersifat transparan dan inklusif.

“Kami tidak ingin buru-buru menyelesaikan. Karena kami ingin 40 persen sisanya harus dibuka untuk ruang publik,” ujarnya.

Dengan dibukanya ruang partisipasi masyarakat, pemerintah berharap agar revisi ini menjadi milik bersama, bukan hanya produk dari satu institusi.

Penguatan Komnas HAM Sesuai Prinsip Paris

Natalius Pigai juga menekankan bahwa revisi UU HAM ini akan memberikan penguatan kelembagaan terhadap Komnas HAM, sebagai lembaga nasional independen sesuai dengan Paris Principles yang dikeluarkan oleh PBB.

Paris Principles merupakan standar internasional yang menetapkan peran dan tanggung jawab Lembaga HAM Nasional (NHRI) sebagai pengawas yang independen terhadap kebijakan dan tindakan pemerintah.

“Komnas HAM harus hadir sebagai pengawas pembangunan, bukan sekadar pelengkap,” tegas Pigai.

Namun demikian, Pigai belum merinci secara detail bentuk penguatan yang akan diberikan. Menurutnya, detail ini akan dibahas setelah draf revisi dibuka ke publik.

Indonesia 2045: Negara Bermartabat Berbasis HAM

Revisi UU HAM ini, menurut Pigai, adalah bagian dari visi jangka panjang pemerintah untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara bermartabat dan berperadaban HAM pada 2045, tepat 100 tahun usia kemerdekaan RI.

“Kami ingin menghadirkan sebuah sistem HAM yang mampu melindungi rakyat, menciptakan keadilan sosial, dan menegaskan bahwa Indonesia adalah negara yang bermartabat dalam pergaulan global,” pungkasnya.

Pigai percaya bahwa hukum HAM harus menjadi tulang punggung dari pembangunan nasional. Pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil harus bekerja bersama dalam membangun Indonesia yang adil, setara, dan menghormati martabat manusia.

Tantangan dan Harapan ke Depan

Meski usulan revisi UU HAM ini disambut positif oleh banyak pihak, tantangan besar masih membayangi:

  • Minimnya komitmen politik dari DPR dan elite politik untuk mempercepat pembahasan RUU HAM yang lebih progresif.

  • Potensi penolakan dari korporasi besar yang merasa keberadaannya mulai diawasi dalam kerangka HAM.

  • Kurangnya literasi masyarakat terhadap isu HAM, sehingga partisipasi publik dalam proses revisi bisa saja minim jika tidak disosialisasikan secara masif.

Namun demikian, harapan tetap ada. Dengan sosok seperti Natalius Pigai yang memiliki rekam jejak panjang dalam advokasi HAM dan ketegasan sikap, proses revisi UU HAM berpeluang menjadi momen penting dalam sejarah perlindungan HAM di Indonesia.

Kesimpulan

Usulan revisi UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM oleh Menteri HAM Natalius Pigai adalah langkah strategis dan mendesak untuk menghadirkan regulasi HAM yang lebih responsif, progresif, dan sesuai dengan tantangan abad ke-21.

Dengan memperluas cakupan pelanggar HAM ke korporasi dan individu, serta memperkuat lembaga seperti Komnas HAM, Indonesia akan semakin siap menjadi negara yang menjunjung tinggi martabat manusia, keadilan, dan tanggung jawab sosial.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *