Gelar Perkara Khusus Ijazah Jokowi: Apa yang Membuat TPUA Masih Tak Puas?

allintimes.com – Kasus dugaan ijazah palsu Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo, kembali mencuat setelah Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri menggelar gelar perkara khusus pada Rabu, 9 Juli 2025. Permintaan ini datang dari Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) yang dipimpin oleh Eggi Sudjana.

Meski Bareskrim sudah mengabulkan permintaan tersebut, TPUA menyatakan ketidakpuasan terhadap hasilnya dan menuntut peningkatan status perkara ke tahap penyidikan.

Pertanyaannya, mengapa TPUA masih belum puas? Apa yang sebenarnya menjadi inti permasalahan, dan bagaimana tanggapan dari pihak Jokowi serta Bareskrim? Simak ulasan lengkapnya berikut ini.

Latar Belakang Kasus: Tuduhan Ijazah Palsu Jokowi

Isu dugaan ijazah palsu milik Joko Widodo bukan hal baru. Selama beberapa tahun terakhir, isu ini terus muncul ke publik, terutama menjelang atau setelah masa jabatannya sebagai presiden. Kelompok-kelompok tertentu, termasuk TPUA, menilai ada kejanggalan dalam dokumen akademik Jokowi, terutama ijazah dari Universitas Gadjah Mada (UGM).

Pada Mei 2025, Bareskrim Polri menyatakan bahwa hasil uji laboratorium forensik menunjukkan ijazah Jokowi identik dengan ijazah pembanding dari tiga rekannya di Fakultas Kehutanan UGM. Hasil ini sempat dianggap cukup untuk menghentikan penyelidikan.

Namun TPUA tidak puas dan menilai perlu adanya gelar perkara khusus untuk mengkaji ulang proses penyelidikan dan bukti yang ada.

Gelar Perkara Khusus yang Dinanti, Namun Mengecewakan

Gelar perkara khusus yang dilaksanakan pada 9 Juli 2025 di Gedung Bareskrim, Jakarta, menjadi harapan baru bagi TPUA. Sebelumnya, acara ini sempat ditunda dari jadwal semula tanggal 2 Juli karena TPUA menuntut kehadiran Jokowi, pihak UGM, Komnas HAM, hingga DPR. Namun dalam pelaksanaannya, Jokowi dan perwakilan UGM tidak hadir, yang menurut pihak pengacara Jokowi, tidak relevan secara hukum.

“Sejak awal kami sudah menyampaikan keberatan akan proses ini. Gelar perkara khusus pada saat penyelidikan itu tidak diatur dan tidak berdasar hukum,” ujar Yakup Hasibuan, pengacara Jokowi.

Yakup juga menilai pelaksanaan gelar perkara ini dilakukan karena adanya tekanan politik dari pihak pelapor, bukan berdasarkan urgensi hukum.

Ketidakhadiran Jokowi dan Ijazah Asli Picu Kekecewaan TPUA

Ketiadaan Jokowi dan tidak diperlihatkannya dokumen ijazah asli menjadi pemicu kekecewaan dari TPUA. Rizal Fadillah, Wakil Ketua TPUA, menyebut bahwa absennya Jokowi mengindikasikan adanya kejanggalan.

“Tapi itulah gambaran dia takut, dia pengecut, something wrong, ada sesuatu yang salah dengan dokumennya itu,” ujar Rizal Fadillah dengan nada geram.

Menurut Rizal, gelar perkara khusus seharusnya menjadi ajang pembuktian yang transparan, bukan sekadar formalitas.

Penolakan Hasil Uji Puslabfor

TPUA menolak hasil pengujian dari Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) yang menyatakan bahwa ijazah Jokowi identik dengan tiga ijazah pembanding. Mereka menilai hasil itu tidak memadai karena identitas pemilik tiga ijazah pembanding tidak dibuka ke publik, sehingga akurasinya diragukan.

“Kalau identitas pembanding saja dirahasiakan, bagaimana kami bisa percaya bahwa analisis itu valid?” kata Roy Suryo, anggota TPUA sekaligus saksi ahli dalam kasus ini.

Tuduhan Obstruction of Justice dan Tuntutan Penyidikan

Hal yang paling serius dari pernyataan TPUA adalah tuduhan terhadap Dirtipidum Bareskrim, Brigjen Djuhandhani Raharjo Puro, yang dinilai telah melakukan obstruction of justice atau menghalangi jalannya keadilan.

TPUA mengklaim bahwa penghentian penyelidikan oleh Djuhandhani merupakan pelanggaran hukum karena mengabaikan bukti-bukti baru yang mereka ajukan. Mereka juga menyebut akan mengajukan laporan ke Divisi Propam Polri agar tindakan tersebut diproses secara etik dan pidana.

Pihak Jokowi Menilai TPUA Tak Punya Novum

Sebaliknya, pihak kuasa hukum Jokowi menilai bahwa seluruh proses hukum telah berjalan sesuai prosedur. Yakup Hasibuan mengatakan, TPUA gagal menunjukkan novum (bukti baru) yang sah dan kuat.

“Mereka hanya mempermasalahkan bentuk fisik ijazah dan terus meminta yang asli ditunjukkan. Padahal mereka tidak bisa membuktikan letak kepalsuannya di mana,” ujarnya.

Yakup juga menegaskan bahwa seluruh prosedur penyelidikan telah mengikuti SOP dan hasil Puslabfor sudah sangat jelas. Dengan begitu, menurutnya, tidak ada dasar hukum untuk melanjutkan perkara ke penyidikan, apalagi sampai pengadilan.

Apa Itu Gelar Perkara Khusus dan Mengapa Dipertanyakan?

Menurut Pasal 1 dan 2 Peraturan Kabareskrim Polri Nomor 4 Tahun 2014, gelar perkara khusus dapat dilaksanakan apabila ada keluhan dari pelapor atau terlapor, permintaan pimpinan, pengawas internal atau eksternal, atau perintah penyidik.

Namun, gelar perkara khusus pada tahap penyelidikan masih menjadi area abu-abu dalam konteks hukum. Inilah yang membuat pihak Jokowi merasa proses ini tidak memiliki dasar legal yang kuat, meskipun pihak kepolisian tetap menjalankannya sebagai bentuk transparansi.

Posisi Bareskrim: Netral atau Tertekan?

Meski melaksanakan gelar perkara khusus, Bareskrim tidak mengubah kesimpulan sebelumnya. Mereka tetap berpegang pada hasil Puslabfor yang menyatakan bahwa tidak ditemukan indikasi pemalsuan dokumen.

Namun, posisi ini membuat sebagian publik bertanya-tanya: apakah Bareskrim benar-benar netral, ataukah tertekan oleh opini publik dan tekanan politik dari kedua belah pihak?

Petaka Hukum dan Politik yang Terus Bergulir

Kasus ijazah Jokowi ini tidak hanya menyangkut aspek hukum, tapi juga memiliki dampak politik yang besar. Mengingat Jokowi telah menyelesaikan dua periode kepemimpinannya, kasus ini memicu debat mengenai validitas masa jabatannya dan kredibilitas sistem demokrasi Indonesia.

Pihak-pihak yang ingin membatalkan legasi Jokowi menjadikan kasus ini sebagai alat kritik. Di sisi lain, pendukungnya menilai isu ini sebagai bentuk fitnah politik yang tidak berdasar dan hanya membuang-buang waktu aparat penegak hukum.

Quo Vadis Kasus Ijazah Jokowi?

Hingga saat ini, kasus ijazah Jokowi belum menunjukkan titik terang yang baru. Gelar perkara khusus yang diharapkan menjadi ajang klarifikasi malah memicu ketidakpuasan dan polemik baru. TPUA tetap bersikeras bahwa proses hukum belum maksimal dan menuntut peningkatan status ke penyidikan. Sementara pihak Jokowi merasa bahwa semua sudah selesai dan tak perlu dibesar-besarkan lagi.

Yang jelas, kasus ini menunjukkan bahwa dalam era keterbukaan informasi dan tuntutan transparansi, masyarakat — melalui kelompok seperti TPUA — semakin vokal. Namun vokal saja tidak cukup tanpa novum yang konkret. Jika tidak ada bukti baru yang sahih, kasus ini kemungkinan besar akan kembali ditutup.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *