Polda Jatim Imbau Larangan Sound Horeg: Demi Ketertiban dan Kesehatan Masyarakat

allintimes.com – Polda Jawa Timur (Polda Jatim) kembali menjadi sorotan publik usai mengeluarkan imbauan resmi kepada masyarakat untuk tidak menyelenggarakan kegiatan festival sound horeg atau sejenisnya.

Imbauan ini muncul sebagai respons atas maraknya keluhan masyarakat terkait gangguan kebisingan yang ditimbulkan oleh sound system berkekuatan tinggi, yang belakangan sering dipertontonkan dalam berbagai festival atau kegiatan komunitas di sejumlah daerah.

Lewat unggahan Instagram resminya pada Kamis, 17 Juli 2025, Polda Jatim mengajak masyarakat untuk lebih bijak dalam menggunakan perangkat audio dengan daya tinggi. “Diimbau kepada seluruh masyarakat untuk tidak mengadakan maupun menyelenggarakan kegiatan sound horeg atau sejenisnya,” tulis akun @humaspoldajatim.

Pesan ini tidak hanya sekadar seruan biasa, tetapi juga mengandung harapan besar untuk menciptakan suasana yang aman, nyaman, dan kondusif di lingkungan Jawa Timur.

Apa Itu Sound Horeg?

Istilah “sound horeg” merujuk pada penggunaan sound system berkekuatan sangat tinggi, biasanya melebihi batas kenyamanan telinga manusia. Kegiatan ini sering digemari oleh sebagian kalangan muda atau komunitas sound system yang ingin menunjukkan performa sistem audio mereka. Tak jarang kegiatan ini digelar dalam bentuk festival, lomba antar-komunitas, hingga pesta rakyat.

Namun, di balik kesenangan tersebut, muncul beragam efek negatif, khususnya bagi warga sekitar lokasi kegiatan. Kebisingan ekstrem, getaran kuat yang merusak properti, dan potensi gangguan kesehatan menjadi perhatian utama.

Keluhan Masyarakat Meluas

Fenomena sound horeg dalam beberapa tahun terakhir memang semakin marak, terutama di wilayah pedesaan dan pinggiran kota. Banyak warga mengeluhkan tidak bisa tidur nyenyak, anak-anak menjadi rewel, hingga jendela rumah yang retak akibat getaran bass yang begitu kuat.

Masyarakat pun mulai mengadukan fenomena ini ke pihak kepolisian, termasuk ke Polda Jatim. Menyikapi hal ini, pihak kepolisian akhirnya mengambil langkah preventif berupa imbauan terbuka kepada masyarakat agar tidak menyelenggarakan kegiatan sound horeg secara sembarangan.

Polda Jatim Tegaskan Tujuan Imbauan

Dalam keterangannya kepada media, Kabid Humas Polda Jawa Timur Kombes Pol Jules Abraham Abast menegaskan bahwa sejauh ini belum ada undang-undang atau peraturan nasional yang secara eksplisit melarang sound horeg. Namun demikian, polisi tetap memiliki wewenang untuk memberikan imbauan demi menghindari potensi konflik dan gangguan ketertiban umum.

“Kalau imbauan jelas, namanya juga imbauan. Karena bisa saja dampaknya ada sound jatuh, kecelakaan, nanti rumah rusak, pecah kaca,” jelas Kombes Jules.

Polda Jatim juga menekankan bahwa upaya ini dilakukan semata-mata untuk mencegah insiden yang tidak diinginkan, seperti kecelakaan, kerusakan properti warga, serta potensi gangguan kesehatan akibat paparan suara berfrekuensi tinggi dalam durasi lama.

Fatwa Haram dari MUI Jatim

Tidak hanya dari kepolisian, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur juga mengeluarkan langkah tegas. Pada 13 Juli 2025, MUI Jatim menerbitkan Fatwa Nomor 1 Tahun 2025 yang menyatakan sound horeg haram karena mengandung banyak kemudaratan.

Dalam fatwa tersebut dijelaskan bahwa kegiatan sound horeg bisa menimbulkan bahaya kesehatan, merusak fasilitas umum, hingga menimbulkan keresahan sosial. MUI juga menyoroti potensi kerusakan sistem saraf pendengaran akibat paparan suara ekstrem. Suara di atas 85 desibel yang berlangsung dalam waktu lama berpotensi merusak indera pendengaran, terutama bagi anak-anak dan lansia.

Fatwa ini mendapatkan respons beragam dari masyarakat. Sebagian mendukung karena merasa terganggu oleh kebisingan, sementara sebagian lainnya menganggap bahwa kegiatan tersebut adalah bagian dari ekspresi dan kreativitas komunitas.

Perspektif Hukum dan Sosial

Meskipun belum ada regulasi nasional yang melarang kegiatan sound horeg, KUHP dan peraturan daerah sebenarnya memiliki pasal-pasal yang bisa menjerat pelanggaran terkait ketertiban umum. Misalnya, Pasal 503 KUHP menyebutkan bahwa barang siapa membuat gaduh di malam hari dan mengganggu ketenteraman lingkungan dapat dikenakan sanksi denda atau pidana ringan.

Selain itu, dalam beberapa daerah, sudah mulai muncul Peraturan Daerah (Perda) tentang ambang batas kebisingan dan jam malam untuk aktivitas masyarakat, termasuk kegiatan dengan speaker besar. Di wilayah Surabaya dan sekitarnya, aparat desa bahkan mulai aktif menerbitkan surat edaran untuk membatasi aktivitas sound system.

Edukasi dan Solusi Alternatif

Menanggapi fenomena ini, Polda Jatim tidak hanya sebatas mengimbau, tetapi juga mengajak tokoh masyarakat, pemuda, dan komunitas sound system untuk duduk bersama dan mencari solusi win-win.

Beberapa alternatif yang mulai dipertimbangkan meliputi:

  • Mengadakan lomba sound system dengan batas desibel tertentu agar tidak merusak pendengaran maupun lingkungan.

  • Menentukan lokasi khusus seperti lapangan desa atau stadion terbuka untuk menggelar event.

  • Membatasi jam penggunaan sound system, misalnya hanya boleh siang hingga sore hari.

  • Memberikan edukasi kesehatan tentang dampak kebisingan ekstrem pada pendengaran, terutama kepada anak muda yang menjadi pelaku utama kegiatan ini.

Peran Polda Jatim dalam Menjaga Ketertiban

Sebagai institusi penegak hukum di tingkat provinsi, Polda Jatim memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga keamanan dan kenyamanan seluruh warga Jawa Timur. Langkah-langkah preventif seperti imbauan, edukasi, hingga kolaborasi dengan tokoh agama dan masyarakat menjadi bagian dari pendekatan humanis yang lebih mengedepankan penyelesaian sosial ketimbang represif.

Polda Jatim juga dikenal aktif dalam menyikapi isu-isu sosial yang berpotensi memecah belah masyarakat. Tidak hanya kasus besar seperti kriminalitas dan narkoba, tetapi juga kasus “kecil” seperti sound horeg yang ternyata memiliki efek domino luar biasa terhadap kehidupan warga.

Dukungan dari Masyarakat dan Tokoh Daerah

Pasca diterbitkannya imbauan ini, sejumlah tokoh masyarakat, LSM, dan bahkan kepala desa di beberapa wilayah menyambut baik langkah Polda Jatim dan MUI Jatim. Mereka menganggap bahwa regulasi dan pengawasan terhadap penggunaan sound system ekstrem memang sudah waktunya dilakukan, demi menjaga keharmonisan sosial.

Di media sosial, banyak netizen turut mengunggah dukungan mereka. “Akhirnya ada juga yang tegas menertibkan sound horeg. Capek tiap malam gak bisa tidur,” tulis salah satu warganet. Namun tidak sedikit pula yang berharap pemerintah bisa menghadirkan ruang ekspresi yang lebih sehat dan terkontrol bagi komunitas sound system agar mereka tetap bisa berkegiatan tanpa merugikan lingkungan sekitar.

Kesimpulan

Imbauan Polda Jatim untuk menghentikan penyelenggaraan festival sound horeg adalah langkah bijak dan antisipatif di tengah meningkatnya keluhan masyarakat terkait kebisingan ekstrem. Meski belum ada dasar hukum formal yang melarangnya secara nasional, pendekatan yang dilakukan oleh Polda Jatim dan MUI Jatim menunjukkan adanya sinergi antara penegak hukum dan tokoh agama dalam menjaga ketertiban umum.

Tantangannya kini terletak pada bagaimana mengedukasi masyarakat, terutama generasi muda, agar bisa menyalurkan kreativitas dan minat mereka dalam bentuk yang lebih positif dan tidak merugikan orang lain. Kolaborasi lintas sektor antara kepolisian, pemerintah daerah, tokoh agama, serta komunitas akan menjadi kunci penting dalam mewujudkan masyarakat Jawa Timur yang damai, tertib, dan nyaman bagi semua.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *