Angka PHK Capai 42.385 Orang: Industri Manufaktur Paling Terdampak
allintimes.com – Jakarta – Dunia ketenagakerjaan Indonesia kembali diguncang dengan meningkatnya jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi selama semester pertama tahun 2025. Berdasarkan data yang dirilis oleh Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) melalui portal Satudata Kemnaker, tercatat sebanyak 42.385 pekerja kehilangan pekerjaan antara Januari hingga Juni 2025.
Angka ini mengalami lonjakan signifikan sebesar 32,19 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2024.
Kondisi ini menjadi perhatian serius, mengingat pemutusan hubungan kerja tidak hanya berdampak pada pekerja secara individu, tetapi juga berimplikasi terhadap kondisi ekonomi rumah tangga, stabilitas sosial, hingga keberlangsungan sektor industri nasional. Tak hanya itu, fenomena ini juga menggarisbawahi tantangan yang dihadapi oleh sektor ketenagakerjaan di tengah fluktuasi perekonomian global dan domestik.
Tiga Sektor Penyumbang PHK Tertinggi
Kepala Badan Perencanaan dan Pengembangan Ketenagakerjaan Kemenaker, Anwar Sanusi, menyebutkan bahwa lonjakan PHK terbesar berasal dari tiga sektor utama, yaitu:
-
Industri pengolahan (manufaktur)
-
Perdagangan besar dan eceran
-
Pertambangan dan penggalian
Dari ketiga sektor tersebut, industri pengolahan atau manufaktur menjadi penyumbang terbesar PHK, terutama pada perusahaan-perusahaan tekstil dan garmen. Hal ini sejalan dengan berbagai laporan tentang penutupan pabrik dan efisiensi besar-besaran yang dilakukan beberapa perusahaan besar akibat penurunan permintaan ekspor dan tekanan biaya produksi.
Salah satu kasus yang paling menonjol adalah penutupan operasional PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), salah satu pemain utama di industri tekstil nasional. Keputusan perusahaan ini untuk melakukan PHK massal telah memicu efek domino yang signifikan, khususnya di wilayah Jawa Tengah dan sekitarnya.
Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Banten: Provinsi Terbanyak PHK
Secara geografis, lonjakan PHK tidak merata, namun terkonsentrasi di tiga provinsi utama:
-
Jawa Tengah menjadi provinsi dengan jumlah PHK tertinggi, yaitu 10.995 pekerja.
-
Diikuti oleh Jawa Barat dengan 9.494 pekerja.
-
Banten menempati posisi ketiga dengan 4.267 pekerja yang terdampak PHK.
Ketiga provinsi ini memang dikenal sebagai pusat industri nasional, khususnya untuk sektor tekstil, alas kaki, otomotif, serta sektor perdagangan. Oleh karena itu, ketika tekanan ekonomi memaksa perusahaan melakukan efisiensi, wilayah ini menjadi titik rawan bagi pemutusan hubungan kerja.
Lonjakan Dibanding Tahun Lalu
Jika merujuk pada data Januari–Juni 2024, jumlah korban PHK saat itu mencapai 32.064 orang. Artinya, pada periode yang sama tahun 2025 terjadi peningkatan sebesar 10.321 kasus, atau naik 32,19 persen.
Peningkatan tajam ini menjadi sinyal bahwa ketidakstabilan ekonomi pascapandemi, perubahan iklim industri global, serta dampak inflasi dan pelemahan daya beli masyarakat masih menjadi faktor yang harus diwaspadai bersama.
Penyebab Meningkatnya PHK
Beberapa faktor yang diyakini mendorong angka PHK naik pada 2025 antara lain:
1. Pelemahan Permintaan Ekspor
Beberapa sektor industri, terutama manufaktur tekstil dan pakaian jadi, sangat bergantung pada pasar ekspor. Ketika permintaan global menurun, perusahaan tak punya pilihan selain memangkas tenaga kerja untuk menyesuaikan kapasitas produksi.
2. Kenaikan Biaya Produksi
Kenaikan harga energi, bahan baku impor, dan logistik menekan profitabilitas industri, terutama di sektor padat karya. Imbasnya, perusahaan lebih memilih merampingkan struktur organisasi.
3. Transformasi Digital
Banyak perusahaan mulai mengadopsi sistem otomatisasi dan digitalisasi untuk meningkatkan efisiensi. Hal ini mengakibatkan pengurangan tenaga kerja manual yang sebelumnya dibutuhkan dalam jumlah besar.
4. Ketidakpastian Investasi
Beberapa investor dikabarkan menahan ekspansi atau relokasi pabrik akibat ketidakpastian politik dan ekonomi menjelang pemilu 2029, yang berpotensi memengaruhi arah kebijakan.
Penurunan di Bulan Juni: Tanda Positif?
Meski tren PHK di awal tahun cukup mengkhawatirkan, Anwar Sanusi menyebutkan bahwa pada bulan Juni 2025, angka PHK mulai menunjukkan penurunan dibandingkan bulan-bulan sebelumnya.
“Adanya satu tren yang sebetulnya tahun 2025 ya memang agak lebih tinggi. Tapi di dalam bulan Juni ini, data kemarin bulan Juni ini agak turun,” ujar Anwar.
Penurunan ini diharapkan menjadi sinyal pemulihan. Namun demikian, pemerintah diharapkan tetap waspada dan aktif dalam memitigasi potensi lonjakan PHK di paruh kedua tahun ini.
Tanggapan Pemerintah dan Langkah Antisipatif
Kementerian Ketenagakerjaan menyatakan akan terus memantau tren PHK serta meningkatkan layanan pelatihan vokasi, reskilling dan upskilling bagi pekerja yang terkena dampak. Selain itu, pemerintah juga menggandeng perusahaan dan asosiasi industri untuk menciptakan skema perlindungan yang lebih baik terhadap pekerja.
Beberapa inisiatif yang sedang dikembangkan di antaranya:
-
Program pemagangan dan pelatihan ulang di sektor potensial seperti digital, logistik, dan pertanian modern.
-
Skema penempatan kerja melalui kerja sama lintas kementerian dan dunia usaha.
-
Perluasan cakupan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan.
Peran Dunia Usaha dan Buruh
Situasi ini juga mengundang refleksi mendalam bagi pelaku industri dan serikat buruh. Dunia usaha diimbau agar tidak menjadikan PHK sebagai satu-satunya jalan dalam menghadapi tekanan ekonomi. Sementara serikat pekerja perlu terus mengawal hak-hak buruh agar tidak terabaikan dalam proses efisiensi atau restrukturisasi.
Di sisi lain, para pekerja juga dihadapkan pada tantangan untuk meningkatkan keterampilan agar mampu beradaptasi dengan perubahan dunia kerja. Kemampuan digital, kewirausahaan, hingga keahlian di sektor hijau menjadi fokus yang perlu dikembangkan di masa depan.
Penutup
Lonjakan angka PHK yang mencapai 42.385 orang selama paruh pertama tahun 2025 menjadi alarm keras bagi pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat secara keseluruhan. Sektor industri pengolahan sebagai tulang punggung ekonomi nasional saat ini menjadi yang paling terdampak, terutama di wilayah seperti Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Banten.
Meski sempat terjadi tren penurunan di bulan Juni, kondisi ini masih menuntut strategi komprehensif yang mencakup kebijakan fiskal, perlindungan sosial, pelatihan tenaga kerja, dan penciptaan lapangan kerja baru.
Keseimbangan antara keberlanjutan bisnis dan perlindungan hak-hak tenaga kerja harus menjadi prinsip utama dalam menghadapi tantangan ini. Harapan ke depan, dengan kolaborasi dan kebijakan yang tepat, angka PHK dapat ditekan dan sektor ketenagakerjaan kembali pulih menuju arah yang lebih baik.