TNI Didesak Cabut Perintah Pengerahan Prajurit di Lingkungan Kejaksaan: Ancaman Kembalinya Dwifungsi Militer di Ranah Sipil
allintimes.com – Jakarta, 11 Mei 2025 – TNI Didesak Cabut Perintah Pengerahan Prajurit di Lingkungan Kejaksaan – Sebuah kontroversi besar melanda dunia pertahanan dan penegakan hukum di Indonesia setelah Panglima TNI, dalam Telegram Nomor TR/442/2025 tertanggal 6 Mei 2025, mengeluarkan perintah pengerahan personel dan alat kelengkapan untuk mendukung pengamanan Kejaksaan Tinggi (Kejati) dan Kejaksaan Negeri (Kejari) di seluruh Indonesia.
Langkah ini menuai desakan keras dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan yang menganggap perintah tersebut melanggar prinsip pemisahan kekuasaan dan kembali mengaburkan batas antara tugas pertahanan dan penegakan hukum.
Latar Belakang Pengeluaran Telegram
Dalam surat telegram yang dikeluarkan pada 6 Mei 2025, Panglima TNI Agus Subiyanto menginstruksikan untuk menyiapkan dan mengerahkan personel, beserta alat perlengkapan, guna mendukung pengamanan semua Kejati dan Kejari di Indonesia. Kebijakan ini diklaim sebagai upaya untuk memperkuat pengamanan institusi penegak hukum di tengah dinamika keamanan nasional.
Namun, surat perintah ini menjadi titik perdebatan karena dianggap mencederai asas kedaulatan sipil dalam penegakan hukum.
Tanggapan Koalisi Masyarakat Sipil
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan segera mengeluarkan pernyataan resmi yang mengecam pengerahan pasukan TNI tersebut. Dalam pernyataan tertulis yang dikeluarkan pada 11 Mei 2025, koalisi menyatakan bahwa langkah ini tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
Mereka menilai, tugas dan fungsi TNI seharusnya terbatas pada pertahanan negara dan tidak boleh mencampuri urusan penegakan hukum yang merupakan domain Kejaksaan sebagai lembaga sipil.
Menurut koalisi, pengerahan pasukan ke lingkungan Kejaksaan bertentangan dengan:
-
Konstitusi Indonesia yang menjamin pemisahan kekuasaan antara lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
-
UU Kekuasaan Kehakiman dan UU Kejaksaan yang mengatur secara tegas tugas dan fungsi penegakan hukum yang harus dilakukan oleh institusi peradilan dan kejaksaan.
-
UU Pertahanan Negara dan UU TNI yang menetapkan bahwa TNI memiliki fungsi murni pertahanan dan keamanan negara, bukan sebagai alat intervensi di ranah sipil.
Ancaman Kembalinya Praktek Dwifungsi TNI
Salah satu poin kritik utama koalisi adalah kekhawatiran akan kembalinya praktek dwifungsi TNI. Setelah diberlakukannya reformasi militer pada era reformasi, TNI diharapkan untuk fokus pada tugas pertahanan. Namun, perintah pengamanan Kejaksaan ini mengindikasikan bahwa konsep dwifungsi – di mana militer juga terlibat dalam penegakan hukum – berpotensi kembali muncul.
Koalisi menyatakan bahwa pengerahan personel TNI kepada Kejati dan Kejari tidak memiliki landasan hukum yang memadai. Mereka menyoroti bahwa:
-
Tidak adanya regulasi resmi yang mengatur perbantuan TNI dalam operasi militer selain perang (OMSP) untuk penegakan hukum.
-
Kerangka kerja sama bilateral antara TNI dan Kejaksaan yang ada tidak memiliki kekuatan hukum yang cukup.
-
Penambahan Kejaksaan Agung dalam revisi UU TNI yang semula dikhususkan untuk kebutuhan jabatan di lingkungan Jampidmil tidak menjadi dasar untuk menerapkan pengerahan ini ke seluruh instansi kejaksaan.
Implikasi Terhadap Independensi Penegakan Hukum
Perintah pengamanan yang mengerahkan personel TNI ke lingkungan Kejati dan Kejari menimbulkan pertanyaan mendasar mengenai independensi penegakan hukum di Indonesia. Menurut koalisi, kehadiran pasukan militer di lingkungan institusi penegakan hukum dapat:
-
Mengaburkan garis perbedaan antara kekuasaan sipil dan militer.
-
Menurunkan kepercayaan publik terhadap kemandirian lembaga penegak hukum.
-
Membuka peluang terjadinya penyalahgunaan wewenang serta intervensi politik di ranah peradilan.
Dalam konteks demokrasi konstitusional, independensi lembaga yudikatif dan kejaksaan adalah prinsip fundamental yang harus dijaga agar negara tetap berada dalam kerangka pemerintahan yang seimbang. Oleh karena itu, koalisi mendesak agar perintah pengamanan ini segera dicabut dan kembalikan kembali fokus TNI pada tugas pertahanan negara.
Tanggapan dari Pihak Lain dan Imbauan DPR
Koalisi Masyarakat Sipil juga mengimbau agar DPR RI, khususnya Komisi I (pertahanan), Komisi III (hukum dan HAM), dan Komisi XIII (keuangan) segera mengambil tindakan tegas. Mereka meminta DPR untuk mendesak Presiden dan Menteri Pertahanan agar membatalkan perintah tersebut sebagai upaya menjaga tegaknya supremasi sipil dalam sistem pemerintahan.
Dalam pernyataan mereka, koalisi menyebut, “Pengamanan institusi penegak hukum seharusnya dapat dilakukan oleh satuan pengamanan internal, seperti satpam, tanpa perlu melibatkan personel TNI. Surat perintah ini sangat tidak proporsional dan melanggar prinsip-prinsip hukum yang ada.”
Dasar Hukum dan Kasus Pelanggaran yang Dipersoalkan
Menurut koalisi, perintah pengamanan tersebut bertentangan dengan beberapa peraturan perundang-undangan. Hal-hal yang dikhawatirkan meliputi:
-
Pelanggaran UU TNI: TNI memiliki fungsi utama untuk pertahanan negara. Penggunaan TNI untuk operasi di ranah sipil, terutama penegakan hukum, merupakan penyimpangan dari tugas pokoknya.
-
Pelanggaran UU Kekuasaan Kehakiman dan UU Kejaksaan: Menyerahkan pengamanan instansi penegak hukum kepada TNI dapat mengganggu kemandirian lembaga penegak hukum.
-
Pelanggaran Prinsip Pemisahan Kekuasaan: Pemisahan kekuasaan adalah fondasi negara hukum yang harus dijaga. Intervensi militer dalam lembaga sipil dapat melemahkan prinsip ini.
Koalisi menekankan bahwa setiap kerja sama antara TNI dan Kejaksaan harus didasarkan pada kesepakatan hukum yang jelas dan tidak menyalahi ketentuan yang berlaku. Tanpa dasar hukum yang kuat, perintah tersebut dianggap sebagai langkah yang merusak tatanan pemerintahan dan bisa membuka pintu bagi praktik dwifungsi TNI yang pernah dihentikan.
Dampak Sosial dan Politik dari Pengerahan TNI
Keterlibatan TNI dalam penegakan hukum di lingkungan Kejati dan Kejari tidak hanya berimplikasi pada bidang hukum, tetapi juga memiliki dampak luas terhadap stabilitas sosial dan politik. Beberapa dampak yang diantisipasi antara lain:
-
Penurunan Kepercayaan Publik: Masyarakat dapat melihat tindakan ini sebagai bentuk intervensi militer yang tidak semestinya, yang akhirnya menurunkan kepercayaan terhadap institusi penegak hukum.
-
Potensi Konflik Kekuasaan: Keterlibatan TNI di ranah sipil dapat menyebabkan tumpang tindih kewenangan antara aparat militer dan kepolisian, sehingga menimbulkan konflik internal dan eksternal.
-
Pengaruh pada Iklim Demokrasi: Independensi lembaga peradilan yang terganggu dapat melemahkan prinsip-prinsip demokrasi konstitusional, yang berdampak pada efektivitas sistem pemerintahan secara keseluruhan.
Koalisi dan sejumlah lembaga bantuan hukum, termasuk LBH Jakarta, LBH Pers, dan LBH Masyarakat, bersama dengan organisasi HAM dan lingkungan sipil seperti Amnesty International Indonesia, mendesak agar penyalahgunaan wewenang militer ini segera dihentikan demi menjaga integritas sistem hukum dan demokrasi di Indonesia.
Imbauan untuk Mengembalikan Fokus TNI pada Tugas Pertahanan
Dalam pernyataan resmi mereka, koalisi masyarakat sipil menegaskan bahwa TNI harus kembali fokus pada tugas pokoknya, yaitu pertahanan negara. Mereka mendesak agar Panglima TNI segera mencabut surat perintah pengerahan personel untuk pengamanan Kejati dan Kejari.
“Kami mendesak Panglima TNI untuk mencabut Surat Perintah tersebut dan mengembalikan peran TNI di ranah pertahanan, sebagaimana telah diatur dalam UU TNI dan peraturan perundang-undangan lainnya. Langkah ini penting untuk menjaga supremasi sipil dan memastikan bahwa penegakan hukum tetap berada di tangan lembaga yang berwenang secara sipil,” tegas pernyataan koalisi.
Selain itu, mereka juga menyerukan agar DPR RI mengadakan peninjauan menyeluruh atas perjanjian kerja sama antara TNI dan Kejaksaan agar tidak terjadi intervensi yang berpotensi mengganggu demokrasi dan kemandirian lembaga peradilan.
Tinjauan Historis dan Praktik Dwifungsi TNI
Sebagian pihak menyoroti bahwa pengerahan TNI untuk mengamankan instansi penegakan hukum merupakan bayang-bayang dari masa lalu, ketika TNI menjalankan fungsi ganda atau dwifungsi. Di era reformasi, pemisahan yang jelas antara tugas militer dan sipil telah ditegakkan untuk menjaga netralitas dan kemandirian lembaga-lembaga pemerintahan.
Namun, dengan revisi UU TNI beberapa bulan lalu yang memasukkan Kejaksaan Agung sebagai pihak yang dapat diintervensi dalam kondisi tertentu, ada kekhawatiran bahwa praktik dwifungsi dapat kembali muncul. Walaupun penambahan pasal tersebut seharusnya terbatas untuk lingkungan jabatan militer tertentu, penerapan surat perintah yang bersifat general untuk seluruh Kejati dan Kejari dipandang sebagai langkah yang jauh melampaui batas-batas yang telah disepakati.
Perbandingan dengan Praktik Internasional
Dalam konteks global, banyak negara yang dengan tegas memisahkan peran militer dari penegakan hukum. Di negara-negara demokratis, penegakan hukum dan keamanan publik merupakan domain lembaga sipil, seperti kepolisian dan lembaga keamanan internal. Intervensi militer dalam ranah sipil biasanya hanya terjadi dalam keadaan darurat yang sangat ekstrim, dan selalu dalam koordinasi dengan lembaga-lembaga sipil.
Penerapan konsep ini dianggap sebagai penjamin supremasi hukum dan demokrasi, serta untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Oleh karena itu, perintah pengerahan TNI untuk mendukung Kejati dan Kejari dianggap menyimpang dari praktik internasional yang telah mapan.
Implikasi terhadap Masa Depan Reformasi Sektor Keamanan
Kejadian ini memiliki implikasi penting bagi masa depan reformasi sektor keamanan di Indonesia. Jika praktek intervensi militer di ranah penegakan hukum terus berlanjut, maka hal tersebut dapat memicu krisis kepercayaan di kalangan masyarakat serta mengaburkan batas antara kekuasaan militer dan sipil.
Para pengamat hukum dan pemerintahan mendesak agar reformasi sektor keamanan berjalan konsisten dengan prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi hukum. Hal ini mencakup perlunya:
-
Penguatan kerangka hukum yang memisahkan tugas militer dari urusan penegakan hukum.
-
Pengawasan yang ketat oleh DPR dan lembaga independen untuk memastikan tidak terjadi penyalahgunaan wewenang.
-
Dialog terbuka antara pimpinan militer, lembaga penegak hukum, dan organisasi masyarakat sipil guna menemukan solusi yang terbaik bagi kepentingan nasional.
Kesimpulan dan Harapan Bersama
Pergantian perintah pengerahan TNI untuk mendukung Kejati dan Kejari telah memicu protes dari berbagai elemen masyarakat sipil dan ahli hukum. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menuntut agar Panglima TNI segera mencabut perintah tersebut, sehingga TNI dapat kembali fokus menjalankan misi pertahanannya sebagai penjaga kedaulatan negara.
Penting untuk diingat bahwa:
-
TNI memiliki peran khusus dalam pertahanan, dan tidak seharusnya dicampuradukkan dengan tugas penegakan hukum yang merupakan domain lembaga sipil.
-
Pemisahan kekuasaan adalah fondasi demokrasi di Indonesia. Upaya menjaga batas-batas fungsi ini harus selalu diutamakan untuk mencegah tumpang tindih yang berpotensi merusak integritas sistem pemerintahan.
-
Reformasi sektor keamanan harus mengutamakan prinsip-prinsip supremasi hukum dan akuntabilitas, sehingga setiap intervensi militer di ranah sipil harus berdasarkan alasan yang kuat dan transparan.
Harapannya, DPR RI, khususnya melalui Komisi I, Komisi III, dan Komisi XIII, bersama dengan pimpinan negara, dapat segera mengambil langkah-langkah konkret untuk menyelesaikan persoalan ini. Dengan demikian, Indonesia dapat menjaga keseimbangan antara kekuasaan militer dan lembaga sipil, serta memastikan bahwa penegakan hukum tetap berjalan secara independen dan profesional.