Moskow Tuduh Inggris Terlibat Penuh dalam Serangan Ukraina ke Rusia: Ancaman Baru di Tengah Ketegangan Global

allintimes.com – Tuduhan keras kembali datang dari Rusia terhadap negara-negara Barat. Kali ini, Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov secara terbuka menuduh Inggris “terlibat penuh” dalam apa yang ia sebut sebagai serangan teroris yang dilakukan Ukraina terhadap wilayah Rusia. Pernyataan ini menambah panjang daftar ketegangan geopolitik yang tengah berlangsung antara Rusia dan blok Barat, terutama di tengah perang berkepanjangan antara Moskow dan Kyiv.

Pernyataan Lavrov ini menjadi sorotan tajam dalam pidatonya di forum bergengsi Future Forum-2050 yang berlangsung di Moskow pada 9 Juni 2025. Tuduhan ini bukan hanya memperkeruh hubungan diplomatik antara Rusia dan Inggris, tetapi juga memberi sinyal akan kemungkinan aksi balasan yang lebih agresif dari pihak Kremlin.

Inggris Diduga Terlibat 100 Persen

Dalam pernyataannya, Lavrov mengatakan bahwa meskipun serangan dilakukan oleh Ukraina, tetapi keberhasilan serangan itu tidak mungkin terjadi tanpa dukungan penuh dari negara Barat, khususnya Inggris. “Ancaman ini cukup serius. Jelas bahwa semua ini dilakukan oleh pihak Ukraina, tetapi mereka akan tak berdaya tanpa dukungan,” tegas Lavrov sebagaimana dikutip dari kantor berita Anadolu, Selasa 10 Juni 2025.

Lavrov bahkan menegaskan bahwa keterlibatan Inggris bukan sekadar dugaan, melainkan “100 persen”. Meski ia tidak menjabarkan secara rinci insiden spesifik yang dimaksud, namun selama beberapa bulan terakhir, Moskow memang gencar melaporkan berbagai serangan drone, sabotase, dan infiltrasi yang menargetkan wilayah Rusia, termasuk infrastruktur energi dan fasilitas militer.

Latar Belakang Ketegangan

Sejak awal invasi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022, konflik ini tidak hanya melibatkan dua negara secara langsung, tetapi juga menarik banyak aktor global ke dalam pusaran konflik, terutama negara-negara anggota NATO dan Uni Eropa. Inggris adalah salah satu negara yang paling aktif dalam memberikan dukungan militer, logistik, intelijen, dan pelatihan bagi pasukan Ukraina.

Peningkatan frekuensi serangan ke wilayah Rusia oleh pasukan Ukraina atau kelompok pro-Kyiv dianggap sebagai bukti keterlibatan intelijen asing. Serangan tersebut melibatkan teknologi canggih, strategi militer yang terorganisir, serta kemampuan siber dan drone yang tak mungkin dilakukan tanpa bantuan negara besar seperti Inggris atau Amerika Serikat.

Ancaman Terorisme dan Janji Rusia untuk Membalas

Lavrov memperingatkan bahwa tindakan yang dilakukan Ukraina—yang menurutnya dibantu oleh Inggris—telah menciptakan kondisi yang mirip dengan terorisme. Ia menekankan bahwa Rusia akan mengambil semua langkah yang diperlukan untuk melindungi rakyatnya.

“Ada risiko meningkatnya ancaman terorisme, dan kami melihatnya. Kami akan melakukan segala sesuatu untuk memastikan ancaman itu ditekan dan tidak membahayakan warga kami,” kata Lavrov.

Pernyataan ini dapat ditafsirkan sebagai ancaman terhadap eskalasi balasan dari Moskow, baik dalam bentuk militer, diplomatik, maupun siber. Ini membuka kemungkinan bahwa Rusia akan memperluas zona operasinya atau bahkan melancarkan serangan terhadap target yang dikaitkan dengan Inggris.

Keseimbangan Relasi Rusia-AS di Tengah Ketegangan

Menariknya, di tengah tuduhan terhadap Inggris, Lavrov juga menyampaikan penilaian bahwa hubungan Rusia dengan Amerika Serikat saat ini lebih stabil dibandingkan saat Joe Biden masih menjabat sebagai presiden. Namun demikian, ia tetap skeptis terhadap niat baik Washington, terutama dalam isu penyebaran senjata jarak menengah.

Lavrov mengungkapkan bahwa moratorium terhadap penyebaran rudal jarak menengah dan pendek, sebagaimana diusulkan oleh Presiden Vladimir Putin, tidak mendapat sambutan dari Amerika Serikat.

“Sudah jelas bahwa pihak AS tidak akan menerima moratorium itu,” kata Lavrov.

Traktat INF: Kenangan Era Perang Dingin

Moratorium yang dimaksud Lavrov merujuk pada Traktat INF (Intermediate-Range Nuclear Forces Treaty) yang ditandatangani pada Desember 1987 oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet. Perjanjian ini dianggap sebagai pilar penting pengendalian senjata pada era Perang Dingin, karena secara efektif melarang kedua belah pihak untuk mengembangkan atau menyebarkan rudal balistik dan jelajah darat dengan jangkauan antara 500 hingga 5.500 kilometer.

Namun, pada tahun 2019, Amerika Serikat secara sepihak menarik diri dari INF, dengan alasan bahwa Rusia telah melanggar isi traktat tersebut. Akibatnya, perjanjian ini dinyatakan berakhir, dan sejak saat itu kedua negara kembali berada dalam situasi persenjataan yang tidak terkontrol di wilayah Eropa.

NATO dan Ancaman Keseimbangan Strategis

Di sisi lain, NATO terus memperkuat kehadirannya di Eropa Timur dan wilayah Baltik, yang dinilai Rusia sebagai ancaman langsung terhadap keamanannya. Lavrov dalam beberapa kesempatan menyatakan bahwa Rusia telah berkomitmen menjaga moratorium secara sepihak, meskipun tidak mendapatkan timbal balik dari pihak Barat.

Dengan terus berkembangnya infrastruktur militer NATO di dekat perbatasan Rusia, Lavrov menilai bahwa perdamaian jangka panjang di kawasan sulit tercapai jika negara-negara Barat terus mengabaikan prinsip-prinsip stabilitas strategis.

Tanggapan Inggris dan Komunitas Internasional

Hingga artikel ini ditulis, belum ada tanggapan resmi dari pemerintah Inggris terkait tuduhan Lavrov tersebut. Namun, dalam banyak kesempatan sebelumnya, Inggris selalu membantah keterlibatan langsung dalam operasi militer ke wilayah Rusia, meskipun mengakui bahwa mereka memberikan dukungan penuh bagi kedaulatan Ukraina melalui bantuan militer dan kemanusiaan.

Di sisi lain, komunitas internasional cenderung melihat pernyataan Rusia sebagai bagian dari strategi diplomasi keras untuk menekan Barat. Namun begitu, tuduhan keterlibatan Inggris ini tetap memiliki potensi untuk meningkatkan eskalasi konflik dan memperburuk hubungan antara Rusia dan negara-negara NATO.

Ancaman Global: Menuju Eskalasi atau Negosiasi?

Dengan terus meningkatnya retorika dari pihak Moskow, muncul kekhawatiran bahwa konflik Ukraina-Rusia bisa berkembang menjadi konflik berskala lebih luas yang melibatkan langsung negara-negara besar seperti Inggris dan Amerika Serikat.

Pakar hubungan internasional memperingatkan bahwa jika tidak ada jalur diplomatik yang dibuka, maka tuduhan semacam ini bisa menjadi dasar pembenaran untuk aksi militer yang lebih besar. Rusia berulang kali menganggap bahwa keberadaan NATO di dekat perbatasannya sebagai provokasi yang sah untuk dibalas secara militer.

Tuduhan Keras Rusia Terhadap Inggris

Tuduhan keras Rusia terhadap Inggris terkait keterlibatannya dalam serangan Ukraina ke wilayah Rusia menunjukkan betapa rapuhnya situasi geopolitik dunia saat ini. Dengan Lavrov menegaskan bahwa Inggris “100 persen” terlibat dalam serangan yang disebutnya sebagai aksi teroris, maka krisis ini telah naik satu tingkat menjadi konflik yang melibatkan aktor global secara langsung.

Dunia kini menunggu respons dari Inggris dan komunitas internasional. Apakah tuduhan ini akan dibalas dengan sanggahan diplomatik, atau justru menjadi pemicu bagi krisis baru di Eropa Timur?

Yang pasti, dalam situasi seperti ini, diperlukan upaya diplomatik yang masif dan pendekatan damai agar konflik tidak merambah lebih jauh ke ranah internasional. Jika tidak, dunia mungkin sedang menuju babak baru dari ketegangan global yang belum pernah terjadi sejak Perang Dingin berakhir.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *