Ketegangan Thailand-Kamboja Kian Membara: Ancaman Konflik Regional di Perbatasan Preah Vihear
allintimes.com – Hubungan antara dua negara Asia Tenggara, Thailand dan Kamboja, kembali berada di ujung tanduk akibat konflik perbatasan yang tak kunjung usai. Sengketa teritorial yang berakar dari sejarah panjang dan kompleks di kawasan Preah Vihear kembali menyulut konfrontasi bersenjata, menimbulkan kekhawatiran akan kemungkinan pecahnya perang terbuka antara dua tetangga Indonesia tersebut.
Sengketa Preah Vihear: Api Lama yang Kembali Menyala
Wilayah yang menjadi titik sengketa adalah kawasan sekitar kompleks kuil kuno Preah Vihear, yang berada di perbatasan antara Provinsi Preah Vihear di Kamboja dan Provinsi Sisaket di Thailand. Meskipun Mahkamah Internasional (ICJ) pada 1962 telah memutuskan bahwa kuil tersebut berada di bawah kedaulatan Kamboja, sengketa mengenai wilayah sekitarnya tetap berlangsung hingga kini.
Pernyataan resmi dari Kementerian Pertahanan Kamboja, dikutip pada Selasa (10/6/2025), menyebutkan bahwa pasukan Kamboja belum ditarik dari wilayah yang mereka klaim sebagai bagian dari kedaulatan nasional. Ini menyanggah kabar penarikan pasukan dari zona konflik, serta memperkuat posisi Phnom Penh dalam mempertahankan kehadiran militernya di wilayah tersebut.
“Tidak ada penarikan pasukan. Pasukan Kamboja belum ditarik dari wilayah manapun di bawah kedaulatan Kamboja,” tegas pernyataan kementerian tersebut.
Kamboja juga menegaskan bahwa klaimnya tidak hanya meliputi area di sekitar kuil Preah Vihear, tetapi juga mencakup tiga bidang tanah lainnya yang saat ini masih disengketakan.
Insiden Mematikan di Tanah Tak Bertuan
Konflik kembali mencapai titik kritis pada 28 Mei 2025 ketika terjadi baku tembak antara pasukan Kamboja dan Thailand di zona yang dikenal sebagai “tanah tak bertuan”. Wilayah ini adalah kawasan sempit di sepanjang perbatasan yang diklaim oleh kedua negara. Insiden ini menewaskan seorang tentara Kamboja dan kembali memanaskan hubungan kedua negara.
Pemerintah Thailand merespons insiden ini dengan meningkatkan pengawasan di perbatasan, termasuk membatasi waktu operasional beberapa pos lintas batas. Namun, langkah ini dinilai belum cukup meredakan kekhawatiran akan eskalasi militer yang lebih luas.
Retorika Nasionalisme dan Ketegangan Politik Domestik
Di balik konflik yang terjadi di lapangan, retorika nasionalisme dan dinamika politik dalam negeri turut menjadi bahan bakar ketegangan. Di Thailand, pemerintahan Perdana Menteri Paetongtarn Shinawatra mendapat tekanan keras dari kelompok nasionalis sayap kanan. Kelompok ini merupakan musuh lama keluarga Shinawatra, yang telah menjadi aktor utama dalam dinamika politik Thailand selama dua dekade terakhir.
Tahun lalu, pemerintahan Paetongtarn dikritik habis-habisan setelah mengusulkan untuk melanjutkan negosiasi dengan Kamboja terkait delimitasi wilayah maritim di Teluk Thailand yang kaya hidrokarbon. Bagi kelompok nasionalis, langkah ini dianggap sebagai kompromi terhadap kedaulatan nasional.
Di sisi lain, Perdana Menteri Kamboja Hun Manet, yang baru menjabat menggantikan ayahnya Hun Sen, menunjukkan pendekatan yang lebih agresif. Ia bahkan menyatakan siap membawa kasus empat wilayah sengketa ke pengadilan internasional untuk mendapatkan kepastian hukum, bahkan jika Thailand menolak terlibat dalam proses tersebut.
“Kami akan menyelesaikan ini sekali dan untuk selamanya agar tidak ada lagi kebingungan,” tegas Hun Manet dalam pidatonya baru-baru ini.
Upaya Diplomatik: Damai yang Rapuh
Meskipun terjadi kontak bersenjata, kedua negara masih berupaya menjaga jalur diplomatik terbuka. Menteri Pertahanan Kamboja, Tea Seiha, menyebut bahwa pihak militer kedua negara telah bertemu untuk menyepakati pengurangan ketegangan. Salah satu langkah yang disepakati adalah pengembalian pasukan ke posisi semula seperti tahun 2024.
Hal serupa juga disampaikan oleh Menteri Pertahanan Thailand, Phumtham Wechayachai, yang menyatakan bahwa langkah ini diambil untuk menghindari eskalasi lebih lanjut dan menciptakan ruang bagi dialog damai.
Namun, para pengamat menilai bahwa upaya ini masih bersifat sementara dan rapuh. Tanpa penyelesaian menyeluruh terkait garis batas dan klaim teritorial yang sah, konflik diprediksi bisa kembali pecah sewaktu-waktu.
Dampak Regional: Ancaman Bagi Stabilitas Asia Tenggara
Ketegangan antara Thailand dan Kamboja tidak bisa dipandang sebagai konflik bilateral semata. Kawasan Asia Tenggara yang dikenal relatif stabil secara geopolitik kini menghadapi potensi destabilisasi jika perang benar-benar meletus.
Indonesia dan negara anggota ASEAN lainnya tentu sangat berkepentingan terhadap stabilitas di kawasan. Wilayah perbatasan antara Thailand dan Kamboja juga dekat dengan jalur perdagangan utama, serta menjadi kawasan strategis dalam jaringan energi dan logistik regional.
Jika konflik meluas, bukan tidak mungkin akan berdampak terhadap kegiatan ekonomi lintas batas, termasuk arus barang, tenaga kerja, hingga pariwisata. ASEAN sebagai organisasi regional pun ditantang untuk memainkan peran lebih aktif dalam mencegah eskalasi konflik ini.
Pelajaran dari Sejarah: Sengketa Tak Pernah Benar-Benar Selesai
Konflik Preah Vihear bukanlah hal baru dalam hubungan Thailand-Kamboja. Pada tahun 2008 hingga 2011, konflik serupa juga terjadi, termasuk beberapa kali baku tembak yang memakan korban jiwa. Meski Mahkamah Internasional pada 2013 telah memberikan interpretasi tambahan atas putusan 1962, menyatakan bahwa wilayah di sekitar kuil adalah milik Kamboja, implementasi di lapangan masih menemui banyak hambatan.
Sebagian kelompok di Thailand tetap menolak putusan ICJ dan melihat Preah Vihear sebagai simbol kebanggaan nasional. Di sisi lain, Kamboja melihat wilayah tersebut sebagai hak historis yang tidak bisa dikompromikan. Ketegangan ini menggambarkan bagaimana sejarah dan nasionalisme menjadi elemen kuat dalam sengketa teritorial di Asia Tenggara.
Solusi Jangka Panjang: Demarkasi, Dialog, dan Peran ASEAN
Salah satu solusi jangka panjang yang kerap didorong oleh komunitas internasional adalah percepatan proses demarkasi perbatasan yang jelas antara kedua negara. Upaya ini perlu disertai dengan dialog diplomatik yang terbuka dan berkesinambungan.
Peran ASEAN sebagai fasilitator netral juga sangat penting. ASEAN dapat menawarkan mediasi ataupun membentuk tim bersama yang terdiri dari pakar hukum dan geografi untuk menyelesaikan sengketa secara objektif dan teknis.
Selain itu, upaya pembangunan kepercayaan (confidence building measures) seperti patroli bersama, zona demiliterisasi terbatas, atau proyek infrastruktur lintas batas dapat menjadi alternatif untuk mengurangi ketegangan di lapangan.
Jalan Damai Masih Terbuka, Tapi Waktunya Terbatas
Sengketa antara Thailand dan Kamboja di kawasan Preah Vihear telah kembali menjadi ancaman nyata bagi stabilitas kawasan. Meski ada itikad damai di tingkat diplomatik, realitas di lapangan menunjukkan bahwa potensi konflik masih besar.
Tindakan cepat dan tegas dari pemimpin kedua negara sangat diperlukan untuk mencegah pecahnya perang terbuka yang dapat membawa dampak luas, tidak hanya bagi kedua bangsa tetapi juga bagi Asia Tenggara secara keseluruhan. Dalam situasi ini, diplomasi, sejarah, dan kehendak politik akan menjadi penentu apakah jalan damai masih bisa ditempuh—sebelum terlambat.