8.000 Hektare Sawah Sumbar Hilang! Ini dampak besarnya
allintimes.com | Sumatera Barat kehilangan luas sawah produktif seluas 8.000 hektare sejak 2021–2024 karena alih fungsi menjadi perumahan dan lahan komoditas lainnya. Data ini mencerminkan perubahan drastis dalam penggunaan lahan sawah, menaruh ancaman nyata terhadap produksi padi dan ketahanan pangan lokal.
Menurut Dinas Pertanian Sumbar, lahan sawah produktif menyusut dari 194.000 ha pada 2021 menjadi 188.000 ha pada 2024, artinya terjadi penurunan 8.000 ha sawah produktif selama tiga tahun terakhir. Pergeseran ini mayoritas terjadi akibat pembangunan perumahan di kawasan perkotaan dan konversi sawah menjadi area pertanian komoditas lain di daerah pedesaan. Untuk mengimbangi penurunan itu, pemerintah provinsi bersama pemerintah pusat merencanakan optimasi 20.000 ha sawah tadah hujan lewat perbaikan irigasi dan bantuan teknologi pertanian.
Menurut data dan fakta dari berbagai sumber resmi, Lahan sawah produktif Sumbar berkurang 8.000 ha, dari 194.000 ha ke 188.000 ha. Produksi padi dari lahan produktif ini tetap di kisaran 1,35–1,4 juta ton per tahun, dengan indeks tanam 1,6 kali panen. Lokasi utama sawah berada di Kabupaten Pesisir Selatan, Solok, Tanah Datar, dan Agam – semuanya menyumbang lebih dari 100.000 ton gabah per tahun. Optimasi sawah dilakukan melalui: Perbaikan saluran irigasi, Pemasangan pompa dan Distribusi benih unggul dan pupuk tepat guna.
Dampak atau respons dari pihak terkait
Ferdinal Asmin, Sekretaris Dinas Pertanian Sumbar, menyatakan bahwa optimasi dirancang agar indikasi penurunan produksi bisa dikendalikan. Petani pun merasakan dampak langsung: beberapa lahan diganti komoditas singkong dan jagung, sedangkan sawah dataran rendah mulai digunakan untuk perumahan sebagai respons terhadap kebutuhan ekonomi keluarga. Pemda Sumatera Barat menawarkan pelatihan dan pendampingan teknis di tingkat kecamatan, serta dukungan benih unggul dan akses pompa—langkah ini mendapat sambutan positif dari beberapa kelompok tani di Agam serta Solok.
Berdasarkan data dan fakta diatas, tantangan alih fungsi lahan dan penurunan sawah produktif perlu keseriusan pemerintah dalam menyikapinya, diantaranya:
- Inventarisasi digital SIG dibutuhkan untuk pantau konversi lahan secara real-time.
- Perbaikan irigasi dan pemompaan air harus didorong di lokasi kritis.
- Pelatihan petani mengenai teknologi budidaya produktif mutlak untuk diprioritaskan.
- Audit rutin tiap musim tanam penting untuk evaluasi efektivitas program optimasi dan mendeteksi masalah menjelang krisis.
Program optimalisasi hingga 20.000 ha bukan sekadar reaktif, melainkan strategi sistemik untuk memperkuat ketahanan pangan Sumbar dalam jangka panjang.
Penyusutan 8.000 hektare sawah produktif di Sumbar menunjukkan betapa alih fungsi lahan sangat berdampak besar pada ketahanan pangan dan ekonomi lokal. Meskipun optimasi 20.000 ha jadi jalan tengah, monitoring terus-menerus oleh pemerintah sebagai pemangku kebijakan dan penerapan teknologi inovatif oleh petani tetap diperlukan.
Bagikan artikel ini agar semakin banyak daerah belajar strategi Sumbar! Komentari di bawah: Menurut kamu, solusi apa yang paling efektif—irigasi, teknologi pertanian, atau perlindungan lahan?