Urbanisasi Generasi Muda di Indonesia: Dorongan, Dampak, dan Solusi Transdisipliner

allintimes.com | Generasi muda semakin memilih kota sebagai tujuan masa depan: urbanisasi generasi muda di Indonesia meningkat sekitar 6 % pada tahun 2023, sementara kelompok usia 15–24 tahun yang tidak sekolah, bekerja, atau berlatih (NEET) mencapai sekitar 24 %. Fenomena urbanisasi generasi muda ini bukan hanya angka statistik, tapi pertanda adanya transformasi sosial-ekonomi yang signifikan—desa kehilangan tenaga kerja muda, mata rantai pertanian terganggu, dan penggalian potensi lokal terhambat. Artikel ini mengurai data, faktor, dampak, kutipan tokoh, dan rekomendasi kebijakan untuk memahami urbanisasi generasi muda di Indonesia secara holistik.

Latar Belakang & Data Statistik

Dalam tiga tahun terakhir, survei BPS menunjukkan bahwa sekitar 6 % pemuda berusia 15–29 tahun bermigrasi dari desa ke kota. Angka ini didorong oleh peningkatan pendidikan: semakin banyak pemuda yang menyelesaikan SMA hingga perguruan tinggi, sehingga mereka terdorong meraih kesempatan di kota besar.

Selain itu, 24 % Gen Z berada dalam kategori NEET—tidak berada dalam pendidikan, pekerjaan, atau pelatihan. Tingginya angka NEET di pedesaan menjadi pemicu tambahan bagi mereka untuk keluar dan menghindari kemacetan sosial-ekonomi.

Faktor Sosiologis & Ekonomi

● Motivasi individual & keluarga

Menurut penelitian Malamassam (2016), migrasi dipicu oleh pendidikan tinggi—pemuda dengan pendidikan SMA ke atas memiliki peluang lebih besar untuk migrasi.
“Kebanyakan generasi muda melihat kota sebagai alat untuk meraih mobilitas sosial,” ungkap Dr. Meirina Ayumi Malamassam, peneliti demografi di LIPI.

● Sistem informasi & teknologi

Akses internet memungkinkan mereka melihat peluang di luar desa, meski jaringan digital masih terbatas. Banyak yang bergantung pada perusahaan pengelola migrasi, bukan jejaring lokal, mempercepat perpindahan ke kota.

● Ekonomi desa yang semakin stagnan

Produktivitas pertanian rendah, minim teknologi, dan dominasi tengkulak menjadikan pertanian kurang menarik.

Dampak pada Desa & Komunitas

  • Kekosongan tenaga kerja

Sebagian besar yang tinggal adalah petani berumur 45 ke atas . Kurangnya regenerasi memicu sektor pertanian terpukul, karena tenaga muda makin jarang hadir dalam mata rantai produksi.

  • Kemunduran produktivitas pertanian

Dengan sedikit generasi muda yang tertarik, produktivitas lahan stagnan. Di beberapa daerah, jalan desa dan listrik masih terbatas, membuat investasi alat mesin pertanian dan teknologi pertanian sulit diterapkan.

  • Disrupsi komunitas adat dan sosial budaya

Urbanisasi pemuda melemahkan struktur komunitas adat. Ritual, gotong royong, dan nilai lokal mengalami degradasi, membuat desa menjadi semakin kehilangan identitas sosial.

Perspektif Tokoh Lapangan & Akademisi

Dr. Meirina Ayumi Malamassam (LIPI):

“Umumnya pemuda migran memiliki pendidikan lebih tinggi, mereka mencari mobilitas dan peluang di kota.”

Budi Santoso, kepala desa di Jawa Tengah:

“Dulu kami punya 50 petani muda; kini tersisa 10. Alat mesin pertanian kami jarang dipakai…” — ia menggambarkan bahwa desa ditinggalkan, dan transformasi sosial desa terhenti karena kurangnya tenaga produktif.

Dilema Struktural: Ketahanan Pangan dan Kewilayahan

Urbanisasi generasi muda di Indonesia menciptakan ketidakseimbangan: kota tumbuh, desa melemah. Infrastruktur pedesaan kian terabaikan—jalan rusak, pompa air tidak berfungsi, dan akses digital minim . Dampaknya, ketahanan pangan nasional berisiko karena rantai pasokan mestinya bermula dari desa. Ketimpangan ini memperlebar jurang sosial antara pusat dan pinggiran.

Rekomendasi Kebijakan Transdisipliner

  1. Integrasi ekonomi & sosial digital
    • Dorong penggunaan alat mesin pertanian, traktor tangan, dan pompa air di desa. Kombinasikan pelatihan praktis dan literasi digital agar desa menarik bagi pemuda.
  2. Pembangunan ekosistem desa modern
    • Perkuat akses ke pasar melalui kelembagaan kelompok tani, koperasi digital, dan logistik lokal.
    • Buat program subsidi modal untuk generasi muda pulang membangun desa dengan inovasi pertanian dan kewirausahaan.
  3. Pendekatan lintas sektor dan budaya
    • Libatkan akademisi LIPI atau universitas negeri dalam pembentukan studi desa berkelanjutan.
    • Dokumen tradisi dan ritual komunitas adat untuk menjaga regenerasi budaya, sekaligus membangun media edukasi kebangsaan.
  4. Pemaparan lintas-generasi & interaksi kota–desa
    • Program magang mahasiswa di desa, serta tukar pemuda urban-desal dengan skema beasiswa dan fasilitasi kerja di desa atau kabupaten.

Urbanisasi generasi muda di Indonesia adalah sinyal pergeseran besar: potensi kota bertumbuh, namun desa harus diselamatkan. Untuk menjembatani, diperlukan paradigma transdisipliner—menggabungkan teknologi, budaya, ekonomi, dan pendidikan. Bagikan artikel ini jika Anda peduli terhadap masa depan pertanian dan desa Indonesia. Tinggalkan komentar: ide, pengalaman, atau pertanyaan Anda tentang revitalisasi desa dan keberpihakan terhadap generasi muda!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *