Dampak Perang Iran-Israel terhadap Ekonomi Indonesia: Ancaman Fiskal hingga Tekanan Inflasi
allintimes.com – Ketegangan geopolitik global kembali memuncak dengan pecahnya perang antara Iran dan Israel. Konflik bersenjata ini tidak hanya berdampak pada kawasan Timur Tengah, tetapi juga menyebar secara luas ke berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.
Salah satu dampak paling nyata dari perang Iran-Israel adalah lonjakan tajam harga minyak global, yang kemudian berimbas secara langsung pada ekonomi Indonesia yang masih sangat bergantung pada impor minyak mentah.
Lonjakan Harga Minyak Dunia dan Efek Domino
Pada 13 Juni 2025, harga minyak mentah jenis Brent melonjak hingga 13 persen mencapai US$ 78,50 per barel, level tertinggi sejak awal tahun. Meskipun sempat terkoreksi menjadi US$ 70,90 per barel pada 16 Juni, harga ini tetap jauh lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya.
Lonjakan harga minyak dipicu oleh kekhawatiran pasar terhadap kemungkinan Iran menutup Selat Hormuz, jalur strategis distribusi sekitar 20 persen pasokan minyak dan gas alam cair (LNG) dunia. Jika blokade terjadi, pengiriman energi global terganggu, sehingga pasokan menurun dan harga melonjak.
JP Morgan bahkan memprediksi harga minyak bisa tembus US$ 130 per barel jika skenario penutupan Selat Hormuz benar-benar terjadi. Angka ini mengingatkan kita pada lonjakan harga saat Rusia menginvasi Ukraina pada tahun 2022, yang saat itu menyentuh US$ 139 per barel.
Dampak Langsung terhadap Anggaran dan Subsidi Energi Indonesia
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia mengimpor sekitar 16,88 juta ton minyak mentah sepanjang tahun 2024. Dengan tingginya ketergantungan ini, lonjakan harga minyak global tentu akan langsung membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Pemerintah Indonesia telah menganggarkan subsidi energi sebesar Rp 203,41 triliun untuk tahun 2025, menggunakan asumsi harga minyak Indonesia (ICP) US$ 82 per barel dan nilai tukar Rp 16.000 per dolar AS. Namun jika harga minyak global melonjak ke atas US$ 100 bahkan US$ 130, anggaran subsidi bisa jebol, apalagi dengan nilai tukar rupiah yang ikut melemah.
Menurut Nailul Huda, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), jika tidak ada penyesuaian harga BBM atau kebijakan fiskal lainnya, subsidi energi akan membengkak, dan pada akhirnya akan menggerus anggaran belanja lainnya.
Potensi Defisit Fiskal
Dengan asumsi tambahan subsidi akibat kenaikan harga minyak dan pelemahan rupiah, defisit fiskal yang ditargetkan 4,9 persen dari PDB (setara 105 miliar shekel atau Rp 462 triliun) berpotensi melebar lebih jauh. Ini bisa memaksa pemerintah untuk:
-
Menerbitkan lebih banyak utang,
-
Mengalihkan anggaran infrastruktur,
-
Atau menaikkan harga BBM subsidi seperti Pertalite dan Solar.
Inflasi, Daya Beli, dan Ancaman Resesi Global
Kenaikan harga minyak biasanya diikuti oleh inflasi global. Ketika biaya energi naik, produsen pun harus mengalihkan beban ke konsumen dalam bentuk harga barang dan jasa yang lebih mahal. Akibatnya, daya beli masyarakat melemah, dan ekonomi domestik akan melambat.
Dalam skala global, Bank Dunia telah menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia dari 2,7 persen menjadi 2,3 persen untuk tahun 2025. Ini memperbesar risiko resesi global yang akan berdampak buruk bagi Indonesia sebagai negara yang bergantung pada ekspor komoditas dan perdagangan internasional.
Nailul Huda juga menambahkan bahwa kenaikan harga minyak memicu kenaikan suku bunga oleh banyak bank sentral dunia. Imbasnya, biaya investasi meningkat dan aktivitas ekonomi melambat.
Risiko Kapital Asing Kabur dan Melemahnya Rupiah
Ketidakpastian geopolitik biasanya membuat investor asing menghindari risiko. Mereka lebih memilih aset safe haven seperti emas dan dolar AS. Ketika dana asing keluar dari pasar keuangan Indonesia, nilai tukar rupiah pun ikut tertekan.
Jika rupiah menyentuh Rp 17.000 per dolar AS, maka biaya impor—terutama energi dan bahan baku industri—akan melonjak. Ini memicu kenaikan biaya produksi nasional, menghambat daya saing ekspor, dan menambah beban fiskal melalui subsidi yang lebih besar.
Dampak terhadap Logistik Energi dan Sektor Industri
Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi dan Batubara Indonesia (Aspebindo), Anggawira, menyatakan bahwa lonjakan harga minyak menekan biaya logistik energi. Biaya operasional distribusi BBM dan batubara diperkirakan naik 10-20 persen terutama di luar Pulau Jawa dan wilayah terpencil.
BBM menyumbang sekitar 25-40 persen dari total biaya logistik energi, sehingga setiap kenaikan harga minyak akan langsung memicu kenaikan harga energi domestik.
Distribusi batubara dari Kalimantan ke Sulawesi misalnya, diperkirakan mengalami penyesuaian tarif Rp 30-50 ribu per ton, tergantung pada volume dan kontrak pengiriman.
Jika tidak diintervensi, ini bisa menyebabkan:
-
Kenaikan harga listrik untuk industri,
-
Tekanan terhadap margin usaha, dan
-
Pemutusan kontrak atau keterlambatan pasokan energi nasional.
Tantangan dan Peluang Ekspor Komoditas
Meski tekanan ekonomi cukup besar, Indonesia juga berpotensi mendapatkan keuntungan dari kenaikan harga komoditas global seperti batu bara dan CPO. Namun, nilai tambah dari ekspor komoditas mentah ini masih belum cukup besar untuk menutupi beban subsidi dan defisit fiskal.
Selain itu, ekspor ke kawasan Timur Tengah dan Eropa bisa terganggu karena jalur pelayaran menjadi rawan konflik dan permintaan melemah akibat pelemahan ekonomi di negara tujuan.
Tanggapan Pemerintah Indonesia
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan bahwa dampak langsung dari konflik Iran-Israel terhadap ekonomi nasional masih terbatas, dan akan terus dipantau. Pemerintah berharap negara-negara penghasil minyak tidak membiarkan harga melonjak terlalu tinggi demi stabilitas global.
Meski demikian, Airlangga menekankan bahwa harga minyak dan ketersediaan pasokan global tetap menjadi fokus pemerintah, terutama dalam menjaga inflasi domestik dan nilai tukar rupiah.
Menjaga Ketahanan Ekonomi Nasional di Tengah Konflik Global
Perang antara Iran dan Israel telah menciptakan ketidakpastian besar di pasar energi global yang langsung berdampak pada ekonomi Indonesia. Dari lonjakan harga minyak, tekanan terhadap APBN, hingga pelemahan rupiah, semua menunjukkan bahwa Indonesia sangat rentan terhadap gejolak geopolitik global.
Pemerintah Indonesia perlu:
-
Menyusun strategi mitigasi fiskal,
-
Menjaga cadangan energi dan logistik nasional,
-
Memperkuat koordinasi lintas sektor (terutama energi dan transportasi),
-
Serta terus mencermati perkembangan global untuk mengambil keputusan tepat waktu.
Di sisi lain, pelaku usaha juga dituntut untuk menyesuaikan diri dalam kondisi ekonomi yang dinamis, serta memanfaatkan peluang ekspor dari naiknya harga komoditas.