Demo Anti-Perang Menggema di AS, Trump Dijuluki Penjahat Perang

allintimes.com – Konflik bersenjata antara Amerika Serikat, Israel, dan Iran telah mengundang gelombang protes besar-besaran di dalam negeri Amerika Serikat. Ribuan demonstran turun ke jalan di berbagai kota utama seperti New York, Los Angeles, Chicago, dan Washington, D.C., untuk menyuarakan penolakan terhadap keputusan Presiden Donald Trump yang memerintahkan serangan militer terhadap fasilitas nuklir Iran.

Aksi ini menandai bangkitnya kembali gerakan antiperang di negeri Paman Sam, yang sejak awal 2000-an jarang terlihat sekuat ini.

Demo yang berlangsung pada Minggu (23/6/2025) tersebut menyatukan berbagai kelompok aktivis dan komunitas diaspora, termasuk pengungsi Iran, mahasiswa, tokoh-tokoh progresif, serta organisasi antiperang yang selama ini aktif mengadvokasi penghentian intervensi militer AS di luar negeri.

Mereka menilai kebijakan militer Presiden Trump bukan hanya membahayakan perdamaian global, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hukum internasional dan prinsip konstitusional Amerika Serikat.

Demonstrasi Nasional Serentak: Dari Times Square hingga Gedung Putih

Demonstrasi dilakukan secara terkoordinasi di berbagai titik strategis. Di Times Square, New York City, ratusan orang berkumpul dengan membawa spanduk bertuliskan “Trump adalah Penjahat Perang”, “Tidak Ada Perang terhadap Iran”, dan “Hentikan Kejahatan Perang AS.”

Suara teriakan dan yel-yel menentang kekerasan militer menggema di antara keramaian wisatawan dan masyarakat lokal. Tidak sedikit pula yang membandingkan Trump dengan mantan Presiden George W. Bush atas invasi Irak tahun 2003.

Pemandangan serupa juga terjadi di Chicago, di mana sekitar 125 orang berdiri dengan membawa poster, menyanyikan lagu perdamaian, dan membagikan selebaran tentang dampak destruktif intervensi militer. Salah satu peserta demonstrasi yang merupakan pengungsi asal Iran mengungkapkan kekhawatiran karena tidak bisa menghubungi keluarganya di kampung halaman selama empat hingga lima hari terakhir.

Sementara itu, di Washington D.C., para demonstran berkumpul di luar Gedung Putih dengan spanduk-spanduk provokatif: “Trump adalah Penjahat Perang”, “Tolak Intervensi AS di Timur Tengah”, dan “Alihkan Dana Perang untuk Pendidikan dan Kesehatan.” Suasana kian tegang ketika beberapa pendukung Trump hadir di lokasi, memicu adu argumentasi yang intens meskipun tetap dalam batas damai.

Kelompok Penyelenggara Aksi: Suara Kolektif Lawan Militerisme

Aksi ini diprakarsai oleh sejumlah organisasi sipil dan gerakan progresif, antara lain Partai Sosialisme dan Pembebasan (PSL), Dewan Nasional Iran-Amerika (NIAC), serta jaringan Answer Coalition yang selama ini aktif dalam menentang militerisme dan imperialisme AS.

Dalam pernyataan resmi mereka, penyelenggara mengecam serangan udara yang diluncurkan AS ke tiga fasilitas nuklir Iran — Fordow, Natanz, dan Isfahan — sebagai bentuk kejahatan perang yang melanggar Piagam PBB, hukum internasional, dan Konstitusi Amerika Serikat.

“Trump telah melanggar janjinya untuk mengakhiri perang. Dia justru memulai potensi perang baru yang bisa berkembang menjadi bencana global,” ungkap salah satu juru bicara aksi dari Partai Sosialisme dan Pembebasan.

Mereka menuntut dihentikannya semua aksi militer AS dan Israel terhadap Iran serta mengimbau agar anggaran militer dialihkan untuk kebutuhan dalam negeri seperti perawatan kesehatan, pendidikan, perumahan, dan pembangunan infrastruktur.

Trump Disamakan dengan George W. Bush: “Sama-Sama Pembohong Perang”

Salah satu sorotan tajam dari para demonstran adalah perbandingan antara Presiden Trump dan mantan Presiden George W. Bush, yang dikenal karena memulai invasi Irak pada 2003 dengan dalih adanya senjata pemusnah massal (WMD) — tuduhan yang kemudian terbukti tidak berdasar.

Dalam berbagai orasi publik, para orator menyatakan bahwa Trump “berbohong kepada rakyat”, dengan menyatakan niat untuk menciptakan perdamaian dan mengakhiri perang, namun kemudian meluncurkan operasi militer yang bisa memicu perang regional bahkan global. Mereka juga menyoroti bahwa tidak ada mandat kongres untuk melakukan serangan terhadap Iran, sehingga langkah tersebut dianggap inkonstitusional.

“Tidak ada bedanya Trump dengan Bush. Keduanya menggunakan propaganda untuk membenarkan aksi militer yang mengorbankan warga sipil dan menghancurkan stabilitas kawasan,” ujar salah satu demonstran di Boston.

Protes Ditanggapi Kontra oleh Pendukung Trump

Meski sebagian besar aksi berjalan damai, suasana sedikit memanas ketika beberapa pendukung Trump hadir dan menyampaikan opini berseberangan. Di Times Square, seorang pria dengan topi merah bertuliskan Make America Great Again (MAGA) berargumen bahwa serangan terhadap Iran sah karena untuk menghentikan kemampuan nuklir negara itu.

Ia menuduh para demonstran memiliki informasi yang salah dan membela negara yang mendukung terorisme. Namun, para demonstran tetap fokus pada misi mereka untuk menolak kekerasan dan menyerukan jalur diplomatik sebagai solusi.

Ancaman Perang Global dan Potensi Bencana Nuklir

Penyelenggara aksi juga menyampaikan kekhawatiran besar terhadap risiko perang global. Mereka memperingatkan bahwa serangan ke fasilitas nuklir dapat mengakibatkan kebocoran radiasi, kerusakan lingkungan, dan kematian massal, baik dari ledakan maupun efek jangka panjang.

Pernyataan dari kelompok aktivis tersebut menegaskan bahwa:

“Serangan terhadap Iran tidak hanya menyalahi hukum, tetapi juga mengancam kehidupan jutaan orang dan bisa menyeret dunia ke dalam perang nuklir.”

Hal ini diperparah oleh pernyataan Menteri Pertahanan AS Pete Hegseth yang menyebut serangan sebagai “keberhasilan besar” dalam menghentikan ambisi nuklir Iran, yang dinilai oleh aktivis sebagai justifikasi kekerasan yang membahayakan dunia.

Tuntutan Aktivis: Hentikan Perang, Alihkan Dana ke Kebutuhan Rakyat

Secara garis besar, para demonstran memiliki tuntutan sebagai berikut:

  1. Mengakhiri semua operasi militer AS dan Israel terhadap Iran.

  2. Mendorong penyelesaian konflik melalui jalur diplomatik, bukan militer.

  3. Mengalihkan anggaran militer AS untuk pelayanan publik domestik.

  4. Menyelidiki legalitas serangan Trump berdasarkan hukum internasional dan Konstitusi AS.

  5. Menghentikan kriminalisasi gerakan anti-perang di dalam negeri.

Bagi mereka, kebijakan luar negeri yang agresif telah membebani rakyat Amerika, baik dalam bentuk pajak tinggi, pemotongan anggaran sosial, maupun rusaknya citra internasional AS.

Gelombang Baru Anti-Militerisme di Negeri Sendiri

Aksi demonstrasi nasional yang mengecam Trump sebagai penjahat perang bukan hanya menunjukkan kekecewaan terhadap kebijakan luar negeri pemerintahan saat ini, tetapi juga menandai kebangkitan gerakan sipil yang menuntut perubahan arah politik. Gerakan ini menjadi simbol bahwa tidak semua warga Amerika menyetujui keputusan pemerintahnya, terlebih ketika keputusan itu berisiko menimbulkan perang global.

Jika ketegangan terus berlanjut, protes-protes seperti ini diperkirakan akan semakin meluas dan menjadi tekanan politik yang serius bagi elite pemerintahan AS. Di tengah kekacauan geopolitik global, suara rakyat yang menyerukan perdamaian menjadi penting untuk terus digaungkan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *