Harga Minyak Dunia Mulai Merangkak Naik, Imbas Perang Israel vs Iran yang Terus Bergejolak
allintimes.com – Ketegangan geopolitik di Timur Tengah antara dua kekuatan besar, Israel dan Iran, kini tak hanya menimbulkan korban jiwa dan kehancuran infrastruktur, tetapi juga mengguncang pasar energi global. Harga minyak dunia kembali melonjak drastis dalam beberapa hari terakhir akibat kekhawatiran pasar terhadap potensi terganggunya pasokan dari wilayah yang kaya akan sumber daya energi tersebut.
Harga Minyak Terkerek Naik Imbas Eskalasi Konflik
Pada Kamis, 19 Juni 2025, harga minyak dunia tercatat mengalami lonjakan signifikan. Patokan harga minyak mentah Brent naik sebesar 2,15 dolar AS atau sekitar 2,8 persen, sehingga ditutup pada level 78,85 dolar AS per barel. Ini merupakan penutupan tertinggi sejak 22 Januari 2025, sebuah sinyal kuat bahwa pasar sedang merespons dengan serius eskalasi konflik antara Israel dan Iran.
Tak hanya Brent, harga minyak mentah Amerika Serikat (West Texas Intermediate/WTI) juga mencatat lonjakan. Pada satu titik, WTI naik hingga 3,2 persen, menembus 77,58 dolar AS per barel, mencerminkan ketakutan pelaku pasar akan potensi terganggunya rantai pasok minyak dari Timur Tengah.
Israel Meningkatkan Serangan, AS Bersikap Ambigu
Pendorong utama ketidakstabilan harga minyak adalah eskalasi konflik militer antara Israel dan Iran. Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, secara resmi memerintahkan militer untuk mengintensifkan serangan terhadap target strategis di Iran, termasuk instalasi nuklir dan pusat pemerintahan di Teheran.
Serangan lanjutan ini dilakukan setelah Iran menembakkan rudal yang dilaporkan menghantam sebuah rumah sakit besar di kota Beersheba, wilayah selatan Israel. Serangan ini menewaskan puluhan warga sipil dan menjadi pemicu kerasnya pernyataan Menteri Luar Negeri Israel, Israel Katz, yang mengancam langsung Ayatollah Ali Khamenei, pemimpin tertinggi Iran.
Di sisi lain, Presiden Amerika Serikat Donald Trump masih menahan diri. Meski menyatakan kemungkinan untuk menyerang program nuklir Iran, ia juga menyebut bahwa keputusan final belum diambil.
“Saya mungkin melakukannya, saya mungkin tidak melakukannya. Maksud saya, tidak seorang pun tahu apa yang akan saya lakukan,” kata Trump seperti dikutip dari CNBC, Jumat (20/6/2025).
Namun, Gedung Putih juga menegaskan bahwa keputusan akan diambil dalam dua minggu ke depan, membuka kemungkinan besar intervensi militer Amerika terhadap Iran. Ini tentu membuat pasar semakin sensitif dan volatil.
JPMorgan: Perubahan Rezim Bisa Picu Lonjakan Harga Lebih Lanjut
Menurut JPMorgan, perubahan rezim di Iran, negara yang masuk dalam jajaran lima besar produsen minyak dunia dan anggota kunci dalam OPEC, akan memberikan dampak besar terhadap pasar minyak global.
Natasha Kaneva, Kepala Riset Komoditas Global JPMorgan, menyatakan bahwa jika terjadi ketidakstabilan politik besar di Iran, maka pasokan minyak global bisa terganggu dalam jangka panjang.
“Jika sejarah dapat dijadikan acuan, ketidakstabilan lebih lanjut di Iran dapat menyebabkan harga minyak naik secara signifikan dalam jangka waktu yang panjang,” ujar Kaneva.
Iran sendiri memproduksi lebih dari 3 juta barel per hari, dengan mayoritas ekspor ditujukan ke negara-negara Asia seperti China, India, dan Korea Selatan. Jika pasokan ini hilang karena perang atau embargo, maka suplai minyak global bisa mengalami defisit yang tajam.
Dampak Langsung terhadap Pasar dan Inflasi Global
Kenaikan harga minyak bukan hanya menjadi persoalan bagi negara-negara pengimpor seperti Indonesia, India, dan negara-negara di Eropa, tetapi juga memberikan tekanan terhadap tingkat inflasi global.
Harga energi yang naik cenderung menaikkan biaya logistik, transportasi, dan bahan baku industri, yang pada akhirnya membebani konsumen dalam bentuk harga barang dan jasa yang lebih tinggi.
Menurut analis ekonomi global, lonjakan harga minyak ini bisa mendorong inflasi AS hingga 5 persen dan memaksa The Federal Reserve untuk kembali menaikkan suku bunga sebagai respons terhadap tekanan inflasi yang meningkat.
Langkah ini bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi dunia, meningkatkan risiko resesi global, dan memicu arus keluar modal dari negara-negara berkembang ke aset-aset safe haven seperti dolar AS dan emas.
Selat Hormuz: Titik Kritis Jalur Energi Dunia
Salah satu kekhawatiran terbesar saat ini adalah kemungkinan penutupan Selat Hormuz oleh Iran sebagai bentuk balasan terhadap serangan Israel. Selat ini merupakan jalur vital pengiriman minyak mentah global, tempat di mana sekitar 20 persen dari total konsumsi minyak dunia melewati setiap harinya.
Jika Iran benar-benar memblokade selat tersebut, maka proyeksi dari Citi dan JP Morgan menyebut harga minyak dunia bisa melonjak hingga 130–140 dolar AS per barel, menyamai rekor tertinggi saat invasi Rusia ke Ukraina pada 2022.
Strategi Pasar Minyak dan Investor
Lonjakan harga minyak dunia juga menyebabkan saham-saham energi seperti ExxonMobil, Chevron, dan Shell mengalami kenaikan tajam. Investor mulai beralih ke sektor energi sebagai perlindungan terhadap ketidakpastian geopolitik.
Di sisi lain, negara-negara dengan cadangan energi besar seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Rusia diprediksi akan mendapatkan keuntungan jangka pendek dari kenaikan harga minyak ini.
Namun, analis memperingatkan bahwa jika konflik berkepanjangan, maka efeknya bisa menyebar ke sektor keuangan global, terutama pada sektor-sektor yang sensitif terhadap biaya energi tinggi.
Indonesia Perlu Waspada dan Bersiap
Bagi Indonesia, konflik ini menjadi peringatan keras akan ketergantungan tinggi terhadap impor minyak. Kenaikan harga Brent hingga ke level US$ 78 per barel dapat membuat subsidi energi membengkak, yang berpotensi menguras APBN dan memengaruhi fiskal negara secara signifikan.
Dengan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang juga cenderung melemah akibat arus modal keluar, tekanan terhadap harga BBM bersubsidi dan nonsubsidi akan semakin tinggi. Jika tidak diimbangi dengan kebijakan subsidi yang tepat, daya beli masyarakat akan menurun dan inflasi domestik akan meningkat.
Pemerintah Indonesia harus segera mengambil langkah mitigasi, termasuk:
-
Menjaga stok BBM dan LPG
-
Membuat skenario subsidi tambahan
-
Menjaga nilai tukar rupiah
-
Diversifikasi pasokan energi dan peningkatan produksi dalam negeri
Harga Minyak Dunia Masih Akan Volatil
Perang antara Israel dan Iran bukan hanya konflik regional, melainkan krisis yang berdampak global, terutama pada pasar energi dunia. Dengan harga Brent yang sudah menyentuh hampir US$ 79 per barel, potensi kenaikan lebih lanjut sangat terbuka jika konflik tak kunjung reda.
Selama potensi intervensi militer Amerika Serikat masih mengambang dan Iran belum memberikan sinyal menurunkan tensi, harga minyak akan tetap tinggi, dengan kemungkinan menyentuh US$ 90–100 per barel jika situasi memburuk.
Bagi negara-negara pengimpor, termasuk Indonesia, ini saatnya memperkuat strategi energi nasional, mengurangi ketergantungan pada impor, dan menjaga stabilitas ekonomi di tengah guncangan global yang makin tidak terduga.