RI Rentan Terkena Dampak Negatif Perang: Ancaman Geopolitik dan Imbas Energi Global
allintimes.com – Konflik antara Israel dan Iran semakin memanas, terlebih sejak keterlibatan langsung Amerika Serikat dalam serangan udara terhadap fasilitas nuklir utama Iran. Ketegangan ini tidak hanya berdampak pada stabilitas keamanan kawasan Timur Tengah, tetapi juga mulai memengaruhi ekonomi global, terutama sektor energi. Negara-negara pengimpor minyak seperti Indonesia termasuk pihak yang paling rentan terdampak dari konflik ini.
Sebagai negara net-importir minyak, Indonesia menghadapi sejumlah risiko serius, mulai dari lonjakan harga minyak dunia, gangguan pasokan energi, hingga tekanan terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Eskalasi konflik di Timur Tengah telah memperlihatkan betapa terhubungnya kondisi geopolitik global dengan dinamika ekonomi domestik Indonesia.
Harga Minyak Dunia Melambung: Awal Gelombang Dampak
Ketegangan antara Iran dan Israel telah menyebabkan lonjakan harga minyak dunia dalam beberapa hari terakhir. Serangan udara Amerika Serikat terhadap tiga fasilitas nuklir utama Iran — Fordow, Natanz, dan Isfahan — memicu langkah balasan dari Teheran, termasuk penutupan Selat Hormuz. Selat ini adalah jalur laut strategis yang dilalui sekitar 20% pasokan minyak global, dan menjadi titik vital dalam distribusi minyak dan gas dunia.
Pada Senin (23/6/2025), harga minyak mentah Brent tercatat naik 2,69% ke level US$79,08 per barel, sementara minyak mentah WTI menguat 1,23% ke US$75,85 per barel. Dalam satu minggu terakhir, harga Brent bahkan telah melonjak hampir 14% sejak menyentuh level US$69,36 pada 12 Juni 2025.
Menurut analis dari Institute of Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), Putra Adhiguna, harga minyak global mulai menunjukkan tren kenaikan sejak Israel meluncurkan serangan awal terhadap Iran. Keterlibatan Amerika Serikat hanya memperparah eskalasi dan memperbesar risiko gangguan pada pasokan minyak dunia.
“Harga minyak sudah merangkak naik semenjak serangan awal Israel, dan dengan terlibatnya AS, risiko semakin memuncak, terlebih dengan saling merusak fasilitas produksi migas,” ujar Putra Adhiguna.
Selat Hormuz Ditutup, Pasokan Global Terancam
Penutupan Selat Hormuz oleh Iran menjadi pukulan besar bagi kestabilan pasar energi global. Jalur ini tak hanya penting bagi ekspor minyak Iran, tapi juga merupakan jalur utama untuk ekspor energi dari seluruh kawasan Teluk, termasuk Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Kuwait.
Bagi Indonesia, Selat Hormuz adalah jalur vital untuk impor minyak mentah, Bahan Bakar Minyak (BBM), dan Liquefied Petroleum Gas (LPG). Gangguan di jalur ini berpotensi menyebabkan kelangkaan pasokan dan mendorong harga energi dalam negeri melonjak.
Putra Adhiguna menambahkan bahwa jika jalur ini terganggu, maka pasokan BBM dan LPG ke Indonesia bisa terhambat, mengingat sebagian besar sumbernya berasal dari kawasan tersebut.
“Lebih dari produksi Iran, risiko tersendatnya perdagangan melalui Selat Hormuz memiliki peranan sangat besar. Jalur ini sangat penting karena dilalui oleh tanker-tanker raksasa yang tidak mudah melalui jalur lain,” jelasnya.
Dampak Langsung ke Indonesia: APBN dan Subsidi Terancam
Dampak pertama yang dirasakan Indonesia dari lonjakan harga minyak adalah tekanan terhadap APBN, khususnya dalam komponen subsidi energi. Jika harga minyak dunia terus meningkat, beban subsidi BBM dan LPG otomatis membengkak, dan ini bisa mempengaruhi kemampuan pemerintah dalam membiayai program-program prioritas lainnya.
Pemerintah sendiri menetapkan asumsi harga minyak mentah Indonesia (ICP) dalam APBN 2025 sebesar US$82 per barel. Jika harga dunia melampaui angka ini, seperti yang saat ini mulai terjadi, maka ada potensi pembengkakan anggaran subsidi yang perlu diwaspadai.
“Risiko peningkatan subsidi semakin membengkak dan lagi-lagi mengingatkan pentingnya Indonesia bergeser menuju kendaraan listrik,” tambah Putra.
Berikut rincian data migas berdasarkan BPS tahun 2024:
-
Total impor migas: US$36,27 miliar (naik dari US$35,83 miliar pada 2023)
-
Impor minyak mentah: US$10,35 miliar
-
Impor BBM: US$25,92 miliar
Lonjakan harga minyak akan memperbesar angka-angka tersebut pada tahun berjalan, terutama jika ketegangan Iran-Israel berlanjut dalam jangka panjang.
Ketahanan Energi dan Elektrifikasi: Solusi Jangka Panjang
Dalam menghadapi gejolak geopolitik seperti ini, kemandirian energi dan diversifikasi sumber energi menjadi solusi jangka panjang yang harus dikejar pemerintah. Salah satunya adalah mendorong elektrifikasi sektor transportasi dan rumah tangga.
Langkah-langkah seperti mempercepat adopsi kendaraan listrik, kompor listrik, dan energi terbarukan menjadi lebih mendesak dari sebelumnya. Ketergantungan tinggi terhadap BBM dan LPG harus segera dikurangi jika Indonesia ingin meminimalisasi dampak dari gejolak global di masa depan.
Putra menegaskan pentingnya perubahan paradigma dalam kebijakan energi nasional:
“Hal seperti ini terus berulang dan memerlukan cara pandang yang lebih jauh — terus berusaha mengganti peran BBM dan LPG dengan elektrifikasi kendaraan dan dapur, serta membuat cadangan BBM yang lebih kuat.”
Potensi Harga Minyak Tembus US$100: Skenario Terburuk
Sejumlah lembaga riset dan analis memperkirakan bahwa jika penutupan Selat Hormuz berlangsung lebih dari beberapa hari, harga minyak dunia bisa menembus US$85 hingga US$100 per barel. Ini skenario terburuk yang bisa menimbulkan krisis energi global, apalagi jika negara-negara lain ikut terlibat dalam konflik militer.
Menurut analis dari Goldman Sachs dan Rapidan Energy, harga minyak bahkan bisa mencapai di atas US$100 per barel jika Iran benar-benar menghentikan ekspor melalui Hormuz dalam jangka panjang.
Sementara itu, JPMorgan menilai risiko penutupan total Hormuz masih tergolong rendah, namun tetap mengkhawatirkan karena AS akan menganggap langkah itu sebagai deklarasi perang.
Waspada tapi Strategis
Konflik antara Israel, Iran, dan Amerika Serikat bukan hanya sekadar krisis regional, tetapi juga ancaman ekonomi global. Indonesia sebagai negara pengimpor energi harus meningkatkan kewaspadaan dan bersiap dengan langkah antisipatif untuk menjaga ketahanan energi nasional.
Langkah-langkah jangka pendek seperti pengendalian harga dan pengamanan pasokan migas perlu disiapkan secara matang. Di sisi lain, strategi jangka panjang seperti memperluas elektrifikasi dan mendorong pemanfaatan energi baru dan terbarukan harus menjadi prioritas utama pemerintah.
Krisis ini menjadi pengingat bahwa ketergantungan pada energi fosil membuat Indonesia sangat rentan terhadap tekanan eksternal. Saatnya mempercepat transformasi energi demi kemandirian nasional dan keberlanjutan masa depan.