Skandal Diplomatik! Inggris & Prancis Tiba-tiba Mundur dari Dukungan Palestina

ANTARA FOTO/FAUZAN/RWA

allintimes.com | Inggris dan Prancis secara mendadak membatalkan rencana untuk akui negara Palestina pada konferensi perdamaian internasional di New York tanggal 17–20 Juni 2025. Langkah ini dinilai memalukan setelah sebelumnya digembar‑gemborkan sebagai respons atas kondisi di Gaza, namun kini malah diganti dengan pernyataan samar tentang “langkah menuju pengakuan”.

Awalnya Dijanjikan, Kini Diundur

Beberapa pekan lalu, kedua negara tersebut menjanjikan pengakuan resmi terhadap Palestina sebagai respons moral atas genosida yang diduga dilakukan Israel di Gaza, serta perluasan pemukiman ilegal di Tepi Barat. Presiden Prancis Emmanuel Macron bahkan menyebut pengakuan tersebut sebagai “kewajiban moral”. Namun juru bicara diplomatik Inggris dan Prancis menyampaikan kepada The Guardian bahwa konferensi hanya akan membahas “langkah‑langkah menuju pengakuan”, dan bukan pengakuan langsung.

Tekanan AS & Persyaratan Berlapis

Menurut Merdeka, pembatalan ini dipicu oleh tekanan dari Amerika Serikat yang meminta kedua negara menunda pengakuan formal. Selain itu, konferensi tersebut kini lebih fokus pada “prasyarat” seperti:

  • Gencatan senjata permanen di Gaza
  • Pembebasan sandera Israel
  • Reformasi Otoritas Palestina tanpa Hamas
  • Normalisasi hubungannya dengan negara Arab

Kondisi ini dianggap banyak pihak sebagai bentuk kompromi berlebihan yang merugikan posisi moral Inggris-Prancis.

Reaksi Keras dan Tuduhan “Memalukan”

Publik dan pengamat menyebut keputusan ini sebagai langkah memalukan, mencerminkan ketidakseriusan Barat dalam menyelesaikan konflik Timur Tengah. Kelompok mantan pemimpin dunia, The Elders, meminta Macron agar mengakui Palestina sebagai langkah transformatif — bukan sekadar alat tawar-menawar. Mereka menyindir bahwa penundaan ini hanya akan memperpanjang konflik dan penderitaan rakyat Palestina.

Dampak pada Solusi Dua Negara

Keputusan ini menggarisbawahi tren meredupnya dukungan terhadap solusi dua negara. Survei The Guardian menunjukkan hanya 20% warga Israel mendukung kehadiran Palestina merdeka, sementara mayoritas menerima gagasan relokasi atau pembersihan etnis. Sementara itu, dukungan publik di Eropa justru meningkat. Irlandia, Spanyol, dan Norwegia sudah mengakui Palestina, dan masih banyak anggota parlemen Inggris—terutama dari Konservatif—yang bersuara menuntut pengakuan serupa.

Konferensi New York Jadi Ajang Formalitas?

Konferensi New York, yang disponsori bersama oleh Prancis dan Arab Saudi, awalnya dibayangkan sebagai momen diplomatik penting untuk mendorong Barat mengakui Palestina secara simbolis dan praktikal. Namun sekarang agenda itu berubah menjadi sikap normatif tanpa ikatan hukum.

Arab Saudi tetap menolak normalisasi dengan Israel selama konflik di Gaza berlangsung. PBB juga mengingatkan, intervensi semacam ini hanya berakhir jadi retorika kosong tanpa gencatan senjata dan keadilan untuk Palestina.

Diplomasi Multi-Tahap dan Hukum Internasional

Para diplomat menekankan bahwa konferensi ini kini membahas perencanaan teknis semata—meliputi batasan geografis, definisi status Palestine, dan pemantauan reformasi Otoritas Palestina. Analisis menyebut langkah ini terlalu bergantung pada keamanan Israel ketimbang kebijakan keadilan internasional.

Rekomendasi Langkah Selanjutnya

  1. Transparansi diplomatik – Inggris dan Prancis harus membuka forum publik terkait kondisi politik di Palestina dan syarat diplomatik yang berlaku.
  2. Pendekatan multilateral – Dorong peran Uni Eropa, Liga Arab, dan PBB sebagai mediator pihak ketiga.
  3. Lindungi hak menentukan nasib sendiri Palestina – Jangan biarkan diplomasi Barat menjadi alat politik tanpa keadilan nyata.

Pembatalan rencana “akui negara Palestina” oleh Inggris dan Prancis menunjukkan betapa kompleksnya politik global dalam kasus ini. Namun publik Eropa dan negara-negara lain tetap menuntut pengakuan nyata—bukan sekadar retorika.

Bagikan artikel ini bila Anda mendukung pengakuan negara Palestina sebagai langkah keadilan global. Tinggalkan komentar: Apakah konferensi itu akan memberi dampak nyata, atau justru jadi formalitas diplomatik saja?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *