Israel Lancarkan Serangan Balik ke Iran Bagian Barat: Babak Baru Konflik yang Mengkhawatirkan
allintimes.com – Ketegangan geopolitik di Timur Tengah kembali memuncak setelah Israel secara resmi melancarkan serangan udara balasan ke Iran bagian barat pada Minggu, 22 Juni 2025. Serangan ini merupakan balasan langsung terhadap tembakan rudal Iran yang menyasar wilayah Israel sehari sebelumnya.
Aksi militer tersebut juga menjadi respon terhadap dukungan Iran terhadap kelompok-kelompok yang memusuhi Israel, serta sebagai bentuk solidaritas terhadap langkah militer Amerika Serikat yang menghancurkan tiga fasilitas nuklir penting milik Iran.
Awal Mula Eskalasi: Dari Proksi ke Konfrontasi Langsung
Selama bertahun-tahun, konflik antara Israel dan Iran lebih banyak terjadi dalam bentuk perang bayangan dan melalui aktor-aktor proksi di Lebanon, Suriah, Irak, dan Gaza. Namun, dalam seminggu terakhir, pola itu berubah drastis. Konfrontasi langsung antara dua kekuatan utama Timur Tengah ini tampaknya tidak terhindarkan lagi.
Setelah AS menggempur fasilitas nuklir Fordow, Natanz, dan Isfahan, Iran merespons dengan menembakkan rudal ke berbagai wilayah strategis Israel. Dalam waktu kurang dari 24 jam setelah serangan itu, Angkatan Udara Israel (IAF) membalas dengan menggempur sejumlah lokasi peluncur rudal dan fasilitas militer Iran di wilayah barat negara tersebut.
Target Serangan: Peluncur Rudal dan Pasukan Militer Iran
Dalam pernyataan resmi yang dikutip dari CNN, Pasukan Pertahanan Israel (IDF) menjelaskan bahwa serangan pada Minggu pagi menargetkan beberapa peluncur rudal yang “sedang dipersiapkan untuk menyerang wilayah Israel.” Selain itu, serangan juga menyasar posisi pasukan militer Iran yang terlibat dalam peluncuran rudal pada malam sebelumnya.
IDF menyatakan bahwa serangan tersebut berhasil menetralkan peluncur rudal yang digunakan Iran dalam serangan terhadap Israel, sekaligus mencegah peluncuran lebih lanjut. Aksi ini disebut sebagai langkah defensif sekaligus ofensif dalam rangka mempertahankan keamanan nasional Israel.
“Kami tidak akan diam saat warga sipil Israel menjadi target rudal musuh. Setiap ancaman yang datang dari wilayah Iran akan dihancurkan sebelum mencapai tanah kami,” tegas seorang juru bicara militer Israel.
Belum Ada Respons Resmi dari Iran
Hingga berita ini ditulis, pemerintah Iran belum mengeluarkan pernyataan resmi terkait jumlah korban jiwa atau kerusakan yang ditimbulkan oleh serangan Israel. Namun, sumber tidak resmi dari media lokal Iran melaporkan adanya aktivitas militer dan kepulan asap di beberapa lokasi yang ditengarai sebagai basis militer di provinsi Kermanshah dan Lorestan.
Sejumlah analis memperkirakan bahwa Iran kemungkinan akan merespons serangan tersebut, baik melalui peluncuran rudal tambahan maupun lewat kelompok sekutu seperti Hizbullah di Lebanon atau milisi Syiah di Irak. Eskalasi lebih lanjut dikhawatirkan dapat melibatkan lebih banyak negara dan memperluas cakupan konflik.
Potensi Perang Regional Semakin Nyata
Dengan keterlibatan langsung Amerika Serikat, Israel, dan Iran, kini konflik yang sebelumnya bersifat regional berubah menjadi krisis yang mengancam stabilitas kawasan secara luas. Sejumlah negara Arab seperti Arab Saudi, Yordania, dan UEA mengimbau warganya untuk waspada dan mempersiapkan kemungkinan gangguan terhadap aktivitas perdagangan dan logistik.
Selat Hormuz, jalur strategis pengiriman minyak dunia, kini menjadi pusat perhatian. Iran sebelumnya mengancam akan menutup jalur ini jika tekanan militer terus meningkat. Penutupan Selat Hormuz berpotensi mengganggu 20 persen pasokan minyak global, dan dapat mendorong harga minyak mentah ke atas USD 130 per barel, seperti yang pernah diperingatkan oleh JPMorgan.
Israel Perkuat Pertahanan, Iran Nyatakan Perang
Langkah Israel menyerang Iran bagian barat bukanlah tindakan yang diambil secara impulsif. Sejak rudal-rudal Iran menghantam Beersheba dan kota-kota lainnya, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu telah memerintahkan militer untuk bersiap melakukan serangan balik penuh.
Dalam pernyataannya, Netanyahu menyebut bahwa “Iran telah melampaui batas,” dan bahwa “Israel memiliki hak mutlak untuk membela diri dan rakyatnya dari ancaman eksistensial.”
Di pihak lain, Korps Garda Revolusi Iran (IRGC) menyatakan bahwa “perang telah dimulai,” menyusul serangan terhadap tiga fasilitas nuklir mereka oleh Amerika Serikat. IRGC juga menyebut seluruh warga sipil dan militer AS di Timur Tengah sebagai target sah dalam konflik yang sedang berlangsung.
Reaksi Internasional: Dunia Menyerukan De-Eskalasi
PBB, Uni Eropa, dan sejumlah negara G7 menyuarakan keprihatinan atas meningkatnya kekerasan di Timur Tengah. Sekretaris Jenderal PBB António Guterres meminta semua pihak untuk menahan diri dan menghindari tindakan yang dapat memperburuk situasi.
“Konflik terbuka antara dua negara berpengaruh di Timur Tengah akan menghancurkan keamanan global. Kami mendesak semua pihak untuk kembali ke meja diplomasi,” ujar Guterres.
Sementara itu, Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden China Xi Jinping menyerukan pertemuan darurat Dewan Keamanan PBB untuk membahas krisis tersebut. Kedua negara tersebut dikenal sebagai sekutu diplomatik Iran dan memiliki kepentingan besar terhadap stabilitas kawasan.
Dampak Ekonomi Global dan Indonesia
Konflik yang makin meluas ini telah mengguncang pasar global. Harga minyak Brent menembus USD 78,85 per barel, tertinggi sejak awal tahun 2025. Ketidakpastian ini memicu pelarian aset ke instrumen safe haven seperti emas dan dolar AS. Sementara itu, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mulai tertekan ke kisaran Rp16.500 per dolar.
Indonesia sendiri mulai bersiap menghadapi dampak lanjutan dari krisis ini. Pemerintah melalui TNI AU telah menyiapkan operasi evakuasi WNI dari Iran dan Israel, menggunakan pesawat Hercules dan Boeing. Tim khusus Crisis Response Team (CRT) dari Mabes TNI juga telah disiagakan untuk mendukung proses evakuasi.
Situasi yang Masih Sangat Dinamis
Serangan balasan Israel ke Iran bagian barat membuka babak baru dalam krisis Timur Tengah. Dengan masing-masing pihak kini terlibat langsung dalam konfrontasi militer, risiko konflik meluas semakin besar. Pertanyaan utama yang kini muncul adalah: sejauh mana para pemimpin dunia akan membiarkan eskalasi ini berlangsung?
Masyarakat internasional perlu mendesak gencatan senjata segera untuk mencegah potensi korban jiwa lebih besar, serta meminimalkan dampak ekonomi dan politik global yang mungkin timbul akibat konflik berkepanjangan ini.