Konflik Iran dan Israel: Benih Perang Global yang Semakin Terbuka

allintimes.com – Konflik antara Iran dan Israel terus menjadi sorotan dunia internasional. Serangkaian serangan dan balasan antara kedua negara tidak hanya memicu kekhawatiran akan instabilitas kawasan Timur Tengah, tetapi juga menjadi cerminan potensi pecahnya perang global yang melibatkan kekuatan-kekuatan besar dunia.

Ketegangan ini bukan semata konflik bilateral, melainkan turut melibatkan dinamika geopolitik global, ideologi, hingga kepentingan energi dan keamanan internasional.

Eskalasi dari Serangan ke Serangan

Puncak konflik terbaru terjadi setelah Israel melancarkan serangan terhadap fasilitas nuklir Iran pada 13 Juni 2025, yang menandai reaksi atas peluncuran rudal dan drone Iran pada April 2024.

Serangan dari Iran tersebut menjadi tindakan ofensif langsung pertama terhadap Israel sejak bertahun-tahun, sekaligus menjadi penanda bahwa pertikaian yang selama ini berlangsung secara tidak langsung melalui perang proksi kini berubah menjadi konfrontasi langsung.

Menurut Drs. Muhadi Sugiono, M.A., dosen Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada (UGM), bentrokan ini telah melampaui batas normal diplomasi. Serangan rudal, drone, hingga serangan siber yang dilakukan oleh kedua pihak merupakan bukti bahwa konflik sudah memasuki tahap eskalasi terbuka. “Ketidakhadiran mekanisme de-eskalasi yang efektif membuat risiko konflik terus membesar,” tegasnya.

Konflik Berlapis: Ideologi, Kekuasaan, dan Nuklir

Konflik antara Iran dan Israel tidak hanya dilandasi oleh persoalan wilayah atau kebijakan luar negeri, tetapi juga dipengaruhi oleh ideologi yang bertolak belakang, sejarah panjang permusuhan, dan rivalitas geopolitik. Israel, dengan kekhawatirannya terhadap kemampuan nuklir Iran, telah melancarkan serangkaian operasi yang menyasar ilmuwan nuklir dan fasilitas strategis Iran selama satu dekade terakhir.

Laporan Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) tahun 2024 menyebutkan bahwa Iran telah memperkaya uranium hingga 60%, jauh melampaui batas yang ditetapkan oleh kesepakatan nuklir 2015. Namun hingga kini, belum ada bukti konkret bahwa Iran secara aktif memproduksi senjata nuklir.

Israel tetap menggunakan isu nuklir ini sebagai dasar legitimasi untuk menyerang, padahal ironisnya Israel sendiri tidak pernah menandatangani Traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPT).

“Serangan Israel dilakukan dengan dalih Iran melanggar NPT, namun ini ironi karena Israel sendiri tidak tunduk pada rejim nuklir internasional,” jelas Muhadi.

Amerika Serikat: Katalis atau Penyeimbang?

Keterlibatan Amerika Serikat (AS) dalam konflik ini menjadi faktor eskalatif yang signifikan. Setelah sempat menyangkal keterlibatan langsung, AS pada akhirnya mengakui telah menggempur tiga fasilitas nuklir Iran di Isfahan, Natanz, dan Fordow sebagai respons terhadap serangan rudal Iran ke Israel.

Muhadi menyebut bahwa dukungan strategis AS terhadap Israel telah melampaui batas dukungan diplomatik. AS kini dianggap sebagai pihak yang aktif dalam konflik, bukan hanya sekadar sekutu. Keberpihakan ini meningkatkan kekhawatiran akan perluasan konflik secara regional, bahkan global.

“Saat negara adidaya seperti AS memilih berpihak, risiko konflik menjadi perang terbuka akan meningkat tajam,” kata Muhadi. Ia juga menambahkan bahwa keberadaan pangkalan militer AS di sekitar kawasan menjadikan konflik semakin rentan meluas ke Irak, Suriah, dan Lebanon.

Potensi Perang Dunia dan Polarisasi Global

Konflik Iran-Israel bukan hanya tentang dua negara. Ia telah memicu keterlibatan dan reaksi dari negara-negara besar lain seperti Rusia dan China yang memiliki kepentingan strategis di kawasan tersebut. Dengan AS dan negara-negara Barat mendukung Israel, serta China dan Rusia yang lebih condong ke Iran, konfigurasi geopolitik saat ini mengingatkan banyak pengamat pada dinamika masa Perang Dingin.

Muhadi memperingatkan, “Jika konflik ini tidak segera teratasi melalui diplomasi, ia bisa berubah menjadi pemicu perang berskala global.” Ia juga menyoroti bahwa ketegangan ini menciptakan atmosfer ketidakpastian internasional, yang berdampak pada stabilitas regional di Timur Tengah dan bahkan dunia.

Peran Lemah Lembaga Internasional

Sayangnya, badan internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) belum menunjukkan efektivitas dalam meredam konflik. Dewan Keamanan PBB kerap kali buntu karena veto dari anggota tetap yang memiliki kepentingan berseberangan. Akibatnya, resolusi-resolusi yang seharusnya dapat menekan pihak-pihak yang terlibat tidak pernah terlaksana.

Muhadi menyebut bahwa ketika diplomasi multilateral kehilangan daya tawarnya, negara-negara cenderung bertindak sepihak sesuai dengan agenda nasional mereka. Ini menjadi salah satu kegagalan terbesar sistem internasional dalam mencegah konflik skala besar.

Dampak terhadap Indonesia

Konflik Iran dan Israel juga membawa dampak langsung maupun tidak langsung terhadap Indonesia. Sebagai negara dengan ekonomi terbuka, Indonesia sangat bergantung pada kestabilan harga minyak dunia dan rantai pasok global. Ketegangan di Timur Tengah akan menyebabkan kenaikan harga minyak dan gangguan logistik internasional.

Dari sisi politik luar negeri, Indonesia menghadapi tantangan dalam menjaga konsistensi prinsip “bebas aktif”. Indonesia harus dapat mempertahankan netralitasnya, namun tetap bersuara lantang dalam mendukung perdamaian dan menolak agresi militer, khususnya terhadap warga sipil.

“Indonesia perlu bersikap tegas dalam mendukung perlucutan senjata nuklir dan mendorong semua negara di Timur Tengah untuk tunduk pada NPT,” tegas Muhadi.

Solusi Diplomatik dan Jalur Kemanusiaan

Muhadi menyarankan agar Indonesia mengambil peran lebih aktif dalam jalur diplomasi dan kemanusiaan. Salah satunya dengan memprakarsai dialog internasional melalui forum non-blok atau organisasi regional. Indonesia juga dapat menjadi motor dalam mendorong resolusi damai melalui ASEAN, OKI (Organisasi Kerja Sama Islam), dan forum PBB.

Indonesia memiliki posisi strategis sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar dan tradisi diplomasi damai. Posisi ini harus dimanfaatkan untuk memediasi pihak-pihak yang berkonflik, sekaligus menggalang koalisi internasional yang menolak penggunaan kekuatan militer dalam penyelesaian sengketa internasional.

Sentimen Publik dan Diplomasi Domestik

Muhadi juga menyoroti pentingnya mencermati respons masyarakat Indonesia terhadap konflik ini. Dukungan terhadap Palestina dan sikap anti-agresi Israel telah lama menjadi bagian dari sentimen publik. Namun, ia menekankan bahwa pemerintah perlu mengelola opini publik tersebut agar tidak terjebak dalam provokasi, melainkan menjadi energi positif untuk mendorong solusi damai.

“Respons publik harus dijadikan masukan penting dalam merumuskan kebijakan luar negeri yang berkeadilan,” katanya.

Bahaya Nyata di Ambang Pintu

Konflik antara Iran dan Israel saat ini telah menjadi benih nyata dari potensi perang dunia. Keterlibatan negara-negara besar, kegagalan diplomasi internasional, serta absennya mekanisme de-eskalasi membuat situasi semakin berbahaya. Dalam skenario terburuk, satu insiden lagi bisa memicu reaksi berantai yang sulit dihentikan.

Namun di tengah semua itu, Indonesia dan negara-negara lainnya masih memiliki peluang untuk mengambil langkah proaktif. Dengan memperkuat jalur diplomasi, menegakkan hukum internasional, serta menyalurkan bantuan kemanusiaan, dunia bisa menghindari bencana global yang lebih besar. Indonesia, dengan posisi strategisnya, bisa menjadi jangkar stabilitas di tengah arus konflik global yang semakin menggila.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *