Perang Israel Menggila, Nuklir Iran Bikin Satu Dunia Ketakutan
allintimes.com – Ketegangan antara Israel dan Iran kian membara. Serangan saling balas terus terjadi, menimbulkan kekhawatiran akan konflik regional yang bisa meluas menjadi perang dunia. Di tengah situasi yang semakin memanas, kekuatan nuklir Iran menjadi sorotan utama. Dunia dibuat ketar-ketir oleh potensi ancaman senjata nuklir dari Teheran, sementara upaya diplomasi internasional tampak belum menunjukkan hasil konkret.
Awal Mula Ketegangan: Nuklir Sebagai Pemicu Utama
Isu program nuklir Iran bukanlah hal baru. Selama lebih dari dua dekade terakhir, negara-negara Barat telah mencurigai bahwa program nuklir Iran bukan semata-mata untuk keperluan sipil seperti yang diklaim oleh Teheran, melainkan mengarah pada pembuatan senjata pemusnah massal.
Situasi semakin genting ketika Israel secara terbuka menuduh Iran melanggar ketentuan Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT) dan memperkaya uranium hingga hampir mendekati kadar 90 persen—ambang batas yang dibutuhkan untuk membuat bom nuklir. Kecurigaan ini menjadi dalih bagi Israel untuk melancarkan serangan ke fasilitas-fasilitas nuklir Iran.
Serangan Israel terhadap situs nuklir seperti Natanz, Isfahan, dan Fordow menjadi titik balik konflik ini. Tindakan itu tidak hanya memicu kemarahan Iran, tetapi juga menarik perhatian global, termasuk Amerika Serikat, negara-negara Eropa, dan PBB.
Iran Membalas: “Perang Sudah Dimulai”
Menanggapi agresi militer Israel dan Amerika Serikat, Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) menyatakan bahwa “perang telah dimulai.” Iran menyebut serangan ke fasilitas nuklirnya sebagai deklarasi perang terbuka. Bahkan, IRGC mengumumkan bahwa seluruh warga sipil dan personel militer Amerika di kawasan Timur Tengah kini dianggap sebagai target yang sah.
Pernyataan itu mempertegas bahwa Iran tidak akan mundur. Bahkan ketika fasilitas nuklirnya dibombardir, Teheran tetap menyatakan bahwa “pengetahuan tidak bisa dibom.” Ini adalah sinyal bahwa meskipun situs-situs fisik hancur, kemampuan teknologi dan sumber daya manusia Iran masih dapat mengembangkan teknologi serupa di masa depan.
Upaya Diplomasi: Eropa Mencoba Menjadi Penengah
Di tengah panasnya konflik, negara-negara Eropa berusaha menengahi situasi. Inggris, Prancis, dan Jerman—yang dikenal sebagai E3—menggelar pertemuan dengan Iran di Jenewa, Swiss, pada 20 Juni 2025.
Pertemuan ini bertujuan untuk menghidupkan kembali jalur negosiasi yang sempat terputus, terutama setelah Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump menarik diri dari kesepakatan nuklir Iran (JCPOA) pada 2018. Namun, upaya ini belum membuahkan hasil.
Seorang pejabat senior Iran yang tak disebutkan namanya menilai bahwa usulan yang diajukan oleh negara-negara Eropa dinilai “tidak realistis.” Ia menegaskan bahwa jika Eropa tetap bersikukuh pada proposal tersebut, maka kesepakatan apapun tidak akan tercapai.
Meski demikian, Iran tetap membuka ruang untuk meninjau usulan tersebut di Teheran. Rencana pertemuan lanjutan belum dijadwalkan, namun sinyal untuk terus bernegosiasi tetap ada.
Macron, Eropa, dan Diplomasi Damai
Presiden Prancis Emmanuel Macron turut memainkan peran penting dalam menjaga jalur diplomasi tetap terbuka. Ia melakukan percakapan langsung dengan Presiden Iran Masoud Pezeshkian dan menegaskan bahwa Iran tidak boleh memiliki senjata nuklir.
Macron juga mendorong kedua pihak untuk mempercepat proses negosiasi, dengan menyatakan bahwa krisis ini hanya bisa diselesaikan melalui jalur damai. Pernyataannya sejalan dengan kekhawatiran global akan potensi pecahnya Perang Dunia III jika konflik ini terus meruncing.
Namun sayangnya, negosiasi formal antara Iran dan Amerika Serikat tampaknya semakin sulit diwujudkan. Iran secara tegas menolak untuk berunding dengan pemerintahan Donald Trump. Hal ini memperkuat posisi Eropa sebagai satu-satunya jembatan diplomatik antara Iran dan blok Barat.
Ancaman Nuklir dan Ketakutan Global
Kekhawatiran dunia akan program nuklir Iran bukan tanpa alasan. Jika Iran berhasil memproduksi senjata nuklir, maka keseimbangan geopolitik di Timur Tengah akan berubah drastis. Sekutu Israel, termasuk AS dan beberapa negara Arab Teluk, akan merasa sangat terancam.
Terlebih lagi, jika konflik melibatkan senjata nuklir, dampaknya akan berskala global—baik secara politik, ekonomi, maupun kemanusiaan. Inilah yang mendorong komunitas internasional untuk berupaya keras menekan kedua pihak agar menahan diri.
Namun tantangan terbesar saat ini adalah bagaimana menyatukan keinginan politik dari pihak-pihak yang berseteru. Sementara Israel terus menggempur wilayah-wilayah strategis di Iran, Teheran juga tidak tinggal diam. Serangan rudal balasan dan ancaman terhadap aset Amerika terus diluncurkan.
Ketegangan Regional dan Dampaknya terhadap Dunia
Konflik Iran-Israel tidak hanya berdampak di kawasan Timur Tengah, tetapi juga menimbulkan efek domino secara global. Harga minyak mentah dunia, misalnya, telah melonjak tajam sejak awal perang. Ketakutan akan gangguan distribusi di Selat Hormuz—jalur utama ekspor minyak dunia—mendorong pasar global dalam situasi penuh ketidakpastian.
Selain itu, volatilitas nilai tukar mata uang di kawasan juga meningkat. Ketegangan ini memperlemah Shekel Israel dan meningkatkan risiko di pasar negara berkembang, termasuk Indonesia. Investor global cenderung menarik dananya dari negara berkembang untuk menghindari risiko geopolitik, dan ini bisa memperburuk tekanan ekonomi global.
Perang yang Tak Diinginkan Dunia
Perang Israel vs Iran telah memasuki babak yang sangat berbahaya. Serangan terhadap fasilitas nuklir dan pernyataan resmi dari pihak-pihak terkait menunjukkan bahwa ini bukan lagi sekadar konflik regional biasa, tetapi telah menjadi krisis internasional yang dapat mengancam stabilitas global.
Upaya diplomasi masih berjalan, terutama dari pihak Eropa, namun jalannya tampak sulit dan penuh tantangan. Sementara itu, dunia hanya bisa berharap bahwa eskalasi ini tidak berakhir pada penggunaan senjata nuklir yang akan membawa bencana besar bagi umat manusia.
Maka dari itu, penting bagi seluruh pihak—baik negara-negara besar, organisasi internasional, maupun masyarakat sipil global—untuk mendorong penyelesaian damai secepat mungkin sebelum semuanya terlambat.