Fadli Zon Meremehkan Pemerkosaan Massal 1998

allintimes.com | Fadli Zon kembali menuai kritik tajam setelah pernyataannya yang meremehkan pemerkosaan massal 1998, dianggap menutup-nutupi kekerasan seksual serius yang terjadi saat kerusuhan Mei 1998.

Dalam wawancara, Fadli Zon mempertanyakan persepsi umum hubungan antara kerusuhan Mei 1998 dan pemerkosaan massal terhadap wanita keturunan Tionghoa. Ia menyebut bahwa pemicunya bukan “kelompok terorganisir” dan meragukan intensitas pelanggaran seksual tersebut. Pernyataan ini menimbulkan reaksi keras dari kelompok pembela HAM, karena fakta telah menunjukkan ratusan perempuan mengalami kekerasan seksual selama kerusuhan Mei 1998 .

Data dari Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) mencatat sekitar 168 kasus kekerasan seksual, termasuk pemerkosaan dan mutilasi genital, selama kerusuhan Mei 1998. Di beberapa kota seperti Jakarta, Surabaya, dan Palembang, kelompok etnis Tionghoa menjadi target utama. Dua puluh korban dilaporkan tewas terkait kekerasan seksual massal tersebut. Keesokan harinya, militer sempat menyangkal klaim ini, menyebutnya hoaks dan dibesar-besarkan untuk mendiskreditkan Indonesia,

Baca JugaRay Sahetapy Meninggal Dunia, Dunia Perfilman Indonesia Berduka

Tanggapan & Tekanan dari Kelompok HAM

Amnesty International Indonesia mendesak Fadli Zon menarik pernyataannya dan meminta pemerintah menghormati fakta sejarah. Direktur Usman Hamid menegaskan semua korban berhak mendapat pengakuan dan keadilan. Komnas HAM juga mengingatkan bahwa hanya lembaga ini yang berwenang menentukan pelanggaran berat. Mereka mencatat adanya pembunuhan, penghilangan paksa, dan pemerkosaan selama kerusuhan 1998. Mahfud MD menyatakan Fadli Zon salah posisi, karena bukan lembaga berpangkat hukum untuk mendefinisikan pelanggaran HAM berat.

Dampak & Jalan Menuju Pengakuan

  1. Pengakuan resmi korban masih terbengkalai; pernyataan Fadli Zon justru memperumit penyelesaian dampak traumatis terhadap korban.
  2. Tuntutan keadilan hukum tetap dibutuhkan, termasuk pengusutan tuntas terhadap peristiwa pemerkosaan massal Mei 1998 .
  3. Pentingnya edukasi publik agar generasi muda memahami betul dampak kekerasan seksual pada konflik etnis—jangan sampai sejarah direduksi menjadi politik retroaktif.

Pernyataan Fadli Zon ini kembali mengingatkan bahwa luka 1998 belum disembuhkan—justru diperparah jika diabaikan. Pengakuan dan keadilan menjadi langkah penting untuk rekonsiliasi nasional.

Bagikan artikel ini agar kebenaran tidak terulang! Komentar di bawah: menurutmu, lembaga mana yang harus mendukung penyelesaian kasus pemerkosaan tahun 1998—pengadilan, Komnas HAM, atau aktivis HAM?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *