Implementasi Putusan MK tentang Pemisahan Pemilu Nasional dan Daerah

Mahkamah Konstitusi (Foto: Istimewa/ANTARA)

allintimes.com | JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan untuk memisahkan jadwal pemilihan umum nasional dan daerah mulai tahun 2029. Menurut Amar putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, pemilu ke depan dilaksanakan dua tahap: tahap pertama meliputi pemilu nasional (Pemilihan Presiden/Wakil Presiden, DPR, dan DPD), tahap kedua meliputi pemilu lokal (Pemilihan DPRD, gubernur, dan bupati/walikota) yang diselenggarakan 2–2,5 tahun setelahnya. Dengan skema baru ini, pemilu lima kotak seperti selama ini tidak lagi berlaku.

  • Tahap I (2029): Pemilihan Presiden/Wakil Presiden, anggota DPR, dan anggota DPD.
  • Tahap II (2031): Pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati, walikota) bersamaan dengan pemilihan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota.

Keputusan MK tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa DPR dan pemerintah belum merevisi UU No. 7/2017 tentang Pemilu sejak putusan MK sebelumnya (PUU-55/2019), sekaligus menegaskan bahwa model pemilu terpisah tetap konstitusional selama sesuai arahan MK.

Menurut Wakil Ketua MK Saldi Isra, MK tidak menentukan jadwal konkret, namun mengusulkan bahwa pemungutan suara tahap kedua dilaksanakan paling cepat 2 tahun dan paling lambat 2,5 tahun setelah pelantikan DPR/DPD dan Presiden/Wakil Presiden. Dengan demikian, pemilu nasional dan lokal akan dipisah untuk memberi jeda waktu yang diperlukan.

Revisi UU Pemilu dan Pilkada

Putusan MK ini otomatis menuntut perubahan hukum. DPR dan Pemerintah diharuskan melakukan revisi terhadap Undang-Undang Pemilu dan UU Pilkada agar sesuai dengan skema baru. Anggota Komisi II DPR RI, Jazuli Juwaini, menegaskan bahwa proses revisi harus dilakukan secara cermat dan partisipatif. Revisi tersebut tidak hanya mengatur ulang jadwal pemilu, tetapi juga mencakup mekanisme teknis penyelenggaraan dan masa jabatan para pejabat terpilih selama masa transisi. Misalnya, perlu diatur bagaimana pengisian sisa masa jabatan gubernur/bupati dan anggota DPRD yang terpilih pada 2024 sampai pemilu DPRD tahun 2031.

  • Revisi UU Pemilu/Pilkada: DPR dan pemerintah berencana merevisi UU Pemilu dan UU Pilkada agar dua fase pemilu dapat diakomodasi secara hukum.
  • Kesiapan Institusional: Revisi harus melibatkan DPR, pemerintah, KPU, dan pemangku kepentingan lain secara partisipatif untuk memastikan aturan baru konstitusional dan jelas.
  • Jeda Transisi: Regulasi perlu mengatur keberlanjutan jabatan kepala daerah/DPRD selama periode jeda (2029–2031), termasuk mekanisme pengisian kekosongan jika terjadi masa jabatan terputus.

Jazuli juga mengingatkan bahwa revisi UU ini seharusnya menjadi momentum memperkuat kualitas demokrasi dan efektivitas penyelenggaraan pemilu. Ia menyebutkan bahwa desain baru wajib meningkatkan partisipasi publik, transparansi, dan efisiensi tata kelola pemilu agar lebih akuntabel. DPR bersama pemerintah dan penyelenggara pemilu berjanji memastikan transisi berjalan mulus dan konstitusional, tanpa mengganggu hak pilih rakyat maupun stabilitas pemerintahan pusat dan daerah.

Tanggapan DPR dan Pemerintah

Ketua DPR RI Puan Maharani menyatakan DPR akan mencermati lebih dulu putusan MK tersebut sebelum mengambil langkah kebijakan. Ia mengakui putusan itu akan berdampak pada banyak peraturan, termasuk UU Pemilu. Puan menegaskan DPR bersama pemerintah akan membahas dan menyesuaikan UU Pemilu pasca-putusan. Hingga saat ini DPR belum mengambil keputusan politik mengenai putusan tersebut, dan masih menerima masukan dari berbagai pihak, termasuk Kementerian Dalam Negeri.

Beberapa fraksi politik mengemukakan pandangan. Misalnya, Partai NasDem menyatakan keberatan, mengingat putusan itu dianggap bertentangan dengan Pasal 22E UUD 1945. Namun Wakil Ketua Komisi II DPR dan partai pendukung pemerintah (seperti PKS) justru mendorong DPR segera merevisi UU terkait untuk menghormati putusan MK. DPR juga mengadakan rapat dengan pemerintah (Kemendagri dan Kemensetneg) untuk membahas langkah selanjutnya, walaupun sampai kini belum ada keputusan resmi.

Secara umum, DPR menyambut putusan itu sebagai final dan mengikat. Jazuli menyatakan putusan MK harus dijadikan pedoman dalam pengambilan kebijakan legislatif. Dengan demikian, DPR menegaskan akan bekerja sama dengan pemerintah dan penyelenggara pemilu mengimplementasikan putusan tersebut melalui revisi peraturan yang diperlukan.

Implikasi Konstitusional dan Masa Jabatan

Meski putusan MK bersifat final, ada sejumlah isu konstitusional yang perlu dicermati. Pasal 22E UUD 1945 menyatakan bahwa pemilu diselenggarakan “setiap lima tahun sekali secara langsung” untuk memilih DPR, DPD, Presiden/Wapres, dan DPRD secara serentak. Pemisahan pemilu dengan jeda 2–2,5 tahun dapat mengubah siklus lima tahunan ini.

Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri, Bahtiar Baharuddin, menyoroti bahwa dengan model dua tahap, periode antara pemilu nasional dan lokal tidak lagi lima tahun, melainkan bisa mencapai tujuh tahun. Artinya, pelaksanaan pemilu DPRD tidak lagi serentak dengan DPR seperti semula.

Akibatnya muncul potensi kekosongan hukum dan legitimasi di tingkat daerah. Dalam diskusi publik, Bahtiar menjelaskan bahwa jeda panjang itu menciptakan “kekosongan representasi politik di tingkat daerah”. Misalnya, DPRD periode 2019–2024 berakhir sebelum DPRD berikutnya terpilih pada 2031, sehingga daerah-daerah terbengkalai tanpa wakil rakyat terpilih dalam kurun waktu tertentu. Pasal 18 ayat (3) UUD 1945 memang menegaskan bahwa setiap daerah memiliki DPRD yang dipilih lewat pemilu, sehingga jeda panjang ini menimbulkan kekosongan konstitusional bagi DPRD.

Oleh karena itu, revisi UU yang akan disusun harus memerhatikan aspek konstitusional ini. Secara teori, putusan MK hanya “memaknai” ketentuan pemilu agar serasi dengan konstitusi, namun implementasinya praktis akan mengubah ritme pemilu. Pengawasan dan pengaturan khusus perlu disiapkan agar mekanisme transisi (misalnya perpanjangan masa jabatan sementara atau mekanisme pengganti antar waktu) tidak melanggar konstitusi dan tetap menjamin keterwakilan rakyat di daerah.

Harapan Efektivitas Sistem Pemilu Baru

Walaupun penerapan skema dua tahap menimbulkan tantangan teknis dan hukum, ada harapan bahwa sistem baru ini dapat meningkatkan efektivitas penyelenggaraan pemilu. DPR dan pemerintah menganggap ini kesempatan menata ulang regulasi pemilu menjadi lebih baik. Dengan pemilu nasional dan lokal terpisah, diharapkan logistik dan sumber daya penyelenggaraan dapat dikelola lebih fokus dan terjadwal. Selain itu, memisahkan pemilu diharapkan memudahkan penyelenggara (KPU dan jajaran terkait) dalam mempersiapkan metode pemungutan suara dan penghitungan suara secara bertahap.

Menurut DPR, revisi UU harus menjadikan penyelenggaraan pemilu lebih efisien, transparan, dan akuntabel. DPR bersama pemerintah berkomitmen menjamin transisi ini berjalan mulus tanpa mengurangi hak politik masyarakat. Masyarakat menaruh harap bahwa penataan ulang ini akan menghasilkan pemilu yang lebih terfokus dan terukur, sehingga kualitas demokrasi secara keseluruhan meningkat. Sekalipun terdapat berbagai penyesuaian perundangan, harapan utama adalah terciptanya sistem pemilu yang efektif dan memudahkan penyelenggara dalam melaksanakan pemungutan suara baik tingkat nasional maupun daerah. [Red]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *