Kementan Genjot Rehabilitasi Mangrove, Libatkan Swasta dan Masyarakat Hadapi Krisis Iklim
Jakarta, Indonesia – Kementerian Kehutanan (Kemenhut) terus menggenjot program Rehabilitasi Mangrove Indonesia (RHL Mangrove) sebagai upaya krusial pemulihan ekosistem pesisir. Program ini tidak hanya vital untuk menghadapi krisis iklim dan abrasi pantai, tetapi juga untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir. Kemenhut menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor, termasuk peran aktif swasta dan masyarakat, untuk mengatasi keterbatasan anggaran dan tantangan di lapangan.
Strategi 3M: Memulihkan, Meningkatkan, Mempertahankan
Direktorat Rehabilitasi Mangrove Kemenhut, di bawah Direktorat Jenderal Pengelolaan DAS dan Rehabilitasi Hutan (PDAS RH), mengimplementasikan strategi 3M: Memulihkan, Meningkatkan, dan Mempertahankan ekosistem mangrove. Prinsip ini selaras dengan PP 26 Tahun 2020 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi, yang bertujuan menjaga fungsi hutan dan lahan untuk meningkatkan daya dukung, produktivitas, dan peranannya dalam menjaga sistem penyangga kehidupan.
Baca Juga: Mentan Raja Juli Antoni Kunjungi Riau, Tegaskan Sinergi Penanganan Karhutla dan Penegakan Hukum
“Kalau kami di rehabilitasi, di Direktorat Jenderal PDAS RH itu mengenalnya 3M, memulihkan, meningkatkan, mempertahankan,” ujar Direktur Rehabilitasi Mangrove, Ristianto Pribadi, dalam media briefing pada Kamis (24/07/2025) di Kementerian Kehutanan Jakarta.
Peran Publik dan Swasta Mendesak untuk Keberlanjutan
Ristianto Pribadi menegaskan bahwa rehabilitasi mangrove tidak bisa ditangani Kemenhut sendirian. Keterlibatan publik harus diperbesar, terutama mengingat keterbatasan anggaran negara. Ia mencontohkan bagaimana investasi sektor swasta dalam RHL mangrove dapat memberikan hasil yang jauh lebih besar. Jika setiap Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kemenhut di daerah dapat mengundang swasta lokal untuk terlibat, maka manfaatnya akan berlipat ganda: mangrove lestari, sektor swasta dan masyarakat pun mendapatkan keuntungan ekonomi.
“Kalau kami di Direktorat Jenderal PDAS RH, sebetulnya konteksnya adalah bagaimana tutupan hutan mangrove itu meningkat dan dikelola secara lestari. Bahwa kemudian mangrove yang ditanam itu menjadi keuntungan karbon, menjadi hasil hutan bukan kayu yang bermanfaat bagi masyarakat. Nilai ekonomi dari hasil-hasil tadi, akan dikembalikan sepenuhnya kepada pemangku kawasannya dan mitra-mitra yang berinvestasi,” jelas Ristianto, menyoroti potensi ekonomi berkelanjutan dari rehabilitasi mangrove.
Target, Capaian, dan Tantangan ke Depan
Berdasarkan Rencana Umum Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RU-RHL), target RHL Mangrove Indonesia mencakup 79,56% kawasan hutan negara oleh Kemenhut dan 20,44% di luar kawasan (APL) melalui koordinasi dengan pemerintah daerah.
Sejak tahun 2020, RHL Mangrove telah mencapai ribuan hektare di Sumatera, Kalimantan, dan Papua melalui program strategis seperti PEN, PRM, dan M4CR. Pengembangan persemaian mangrove berskala besar, seperti di Pulau Cemara (Brebes, Jawa Tengah) dan BPDASHL Unda Anyar (Bali), serta partisipasi aktif Kelompok Tani Hutan (KTH) lokal, turut mendukung capaian ini.
Namun, Kemenhut menghadapi tantangan signifikan seperti keterbatasan anggaran APBN, terbatasnya periode program hibah/loan, kapasitas pemeliharaan di lokasi terpencil, lokasi tanam yang belum sepenuhnya “clean and clear”, gelombang tinggi, hama, sampah laut, serta koordinasi antarpihak yang belum optimal.
Oleh karena itu, pendekatan kebijakan diperluas menjadi investasi jangka panjang yang melibatkan pemangku kepentingan lintas sektor, dunia usaha, lembaga donor, dan masyarakat. Kemenhut mendorong keterlibatan publik melalui pendekatan Public Engagement, serta membuka peluang dukungan dari program bantuan multilateral dan CSR swasta.
Melalui strategi adaptif dan kolaboratif ini, Kemenhut berkomitmen menjadikan rehabilitasi mangrove bagian integral dari pembangunan nasional yang rendah emisi, inklusif, dan berkelanjutan, mendukung pencapaian Indonesia’s FOLU Net Sink 2030.