Sound Horeg Ditetapkan Haram: Fatwa Ulama dan Dampaknya bagi Masyarakat

allintimes.com – Sound horeg baru-baru ini menjadi topik hangat di masyarakat, terutama setelah ditetapkan haram oleh sejumlah ulama dan lembaga keagamaan terkemuka di Indonesia. Penetapan hukum ini tidak datang begitu saja, melainkan melalui serangkaian kajian mendalam yang mempertimbangkan dampak sosial, kesehatan, dan nilai-nilai syariat Islam. Lalu, apa sebenarnya sound horeg itu, dan mengapa sampai dianggap haram?

Artikel ini akan mengulas secara lengkap tentang fenomena sound horeg, alasan pengharamannya, hingga pandangan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pesantren besar di Jawa Timur.

Apa Itu Sound Horeg?

Istilah sound horeg berasal dari bahasa Jawa, di mana “horeg” berarti bergetar. Ini merujuk pada penggunaan sistem audio berkekuatan tinggi, terutama yang menghasilkan suara dengan frekuensi rendah atau bass yang ekstrem, sehingga getarannya bisa dirasakan hingga ke tubuh atau bangunan di sekitarnya.

Sound horeg biasanya digunakan dalam hajatan seperti pernikahan, sunatan, atau pesta rakyat di beberapa daerah, terutama di Jawa Timur. Namun, praktik ini tidak jarang menimbulkan gangguan, baik secara fisik, psikologis, maupun sosial bagi warga sekitar.

Fatwa Haram dari Forum Pesantren Besuk

Penetapan hukum haram terhadap sound horeg pertama kali mencuat dari Forum Satu Muharram 1447 Hijriah di Pondok Pesantren Besuk, Pasuruan, Jawa Timur. Forum ini menyelenggarakan Bahtsul Masail, atau kajian keagamaan yang biasa dilakukan oleh ulama pesantren untuk merumuskan fatwa atas permasalahan kekinian.

Menurut pengasuh Ponpes Besuk, KH Muhibbul Aman Aly, penetapan haram terhadap sound horeg bukan hanya karena volume suaranya yang memekakkan telinga, tetapi juga karena konsekuensi sosial dan budaya yang mengiringinya.

“Kami putuskan perumusan dengan tidak hanya mempertimbangkan aspek dampak suara, tapi juga mempertimbangkan mulazimnya disebut dengan sound horeg, bukan sound system,” ujar Kiai Muhib.

Dalam pernyataannya, ia menekankan bahwa sound horeg memiliki karakteristik khusus yang membedakannya dari sekadar sistem audio biasa. Oleh sebab itu, hukum haram berlaku meskipun tidak ada larangan dari pemerintah, dan bahkan meski tidak secara langsung mengganggu ketertiban di satu waktu dan tempat.

Dukungan dari MUI Pusat: “Sound Horeg Layak Diharamkan”

Menanggapi keputusan dari Ponpes Besuk, Ketua MUI Pusat bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH Cholil Nafis, menyatakan dukungannya terhadap fatwa haram sound horeg.

Menurut KH Cholil, sound horeg memang secara intrinsik bersifat mengganggu dan tidak sesuai dengan norma sosial dan agama.

“Kalau tidak mengganggu, itu bukan sound horeg lagi, tapi sound system biasa,” tegasnya.

KH Cholil juga menyebut bahwa fatwa haram tersebut tidak diambil secara sembarangan. Para ulama melakukan kajian berdasarkan kaidah fikih, yaitu jika sesuatu menyebabkan gangguan dan kerusakan (mudarat), maka hukum asalnya bisa berubah menjadi haram.

MUI Jawa Timur: Sound Horeg Haram Jika Melampaui Batas

Setelah mencermati perkembangan dan permintaan dari masyarakat, MUI Jawa Timur akhirnya mengeluarkan fatwa resmi yang menyatakan sound horeg haram, dengan sejumlah catatan penting.

Menurut Sekretaris Komisi Fatwa MUI Jatim, Sholihin Hasan, sound horeg diharamkan jika:

  • Digunakan dengan intensitas suara melebihi batas kewajaran

  • Berpotensi mengganggu kesehatan seperti gangguan pendengaran

  • Mengganggu ketertiban umum dan kenyamanan warga

  • Merusak fasilitas umum atau properti pribadi

  • Disertai dengan kemungkaran, seperti musik keras diiringi joget pria-wanita, membuka aurat, dll.

Sholihin menyatakan bahwa MUI Jatim telah menerima surat petisi dari 828 warga yang merasa terganggu dengan fenomena sound horeg. Mereka juga menggelar diskusi bersama pengusaha sound, dokter THT, dan tokoh masyarakat sebelum memutuskan fatwa.

Aspek Syariat dalam Fatwa Haram

Fatwa haram terhadap sound horeg berpijak pada beberapa kaidah syariah, di antaranya:

  1. La dharar wa la dhirar – Tidak boleh membahayakan diri sendiri atau orang lain.

  2. Sadd adz-dzari’ah – Mencegah hal-hal yang bisa menjadi sarana kerusakan.

  3. Al-maslahah al-‘ammah – Mendahulukan kemaslahatan umum daripada kepentingan segelintir orang.

Jika sound horeg sudah terbukti membawa mudarat, seperti gangguan tidur warga, stres, sakit kepala, bahkan gangguan mental pada anak-anak dan lansia, maka tidak lagi dibolehkan dalam Islam, walaupun awalnya diniatkan sebagai hiburan.

Dampak Negatif Sound Horeg

Beberapa dampak buruk dari penggunaan sound horeg yang berlebihan antara lain:

  • Gangguan pendengaran (terutama pada bayi dan lansia)

  • Stres dan tekanan psikologis bagi warga sekitar

  • Gangguan konsentrasi belajar dan kerja

  • Resiko hipertensi dan jantung akibat paparan suara ekstrem

  • Ketidakharmonisan sosial, seperti konflik antar tetangga

Tak jarang, pesta yang menggunakan sound horeg berujung pada keributan dengan warga sekitar karena dianggap tidak menghormati waktu dan ketenangan lingkungan.

Alternatif yang Lebih Bijak

Alih-alih menggunakan sound horeg, masyarakat dapat memilih bentuk hiburan yang:

  • Menggunakan sound system standar

  • Menyesuaikan volume dengan batas kenyamanan lingkungan

  • Tidak berlangsung terlalu malam

  • Tidak melibatkan tarian atau hiburan yang vulgar

  • Menyertakan izin dari aparat dan RT/RW setempat

Dengan demikian, semangat gotong royong dan kegembiraan acara tetap bisa diwujudkan tanpa harus mengorbankan ketertiban dan kenyamanan masyarakat.

Kesimpulan

Penetapan sound horeg sebagai haram oleh sejumlah lembaga keagamaan, termasuk Forum Pesantren Besuk, MUI Pusat, dan MUI Jawa Timur, merupakan bentuk respons atas keresahan masyarakat terhadap dampak negatif fenomena ini.

Fatwa ini bukan berarti melarang masyarakat untuk bergembira atau merayakan acara penting, namun menjadi peringatan agar tidak melanggar batas norma sosial dan syariat Islam.

Dengan memahami esensi dari keputusan ini, diharapkan masyarakat bisa lebih bijak dalam memilih bentuk hiburan. Karena pada akhirnya, kegembiraan sejati adalah yang membawa maslahat, bukan mudarat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *