Terdakwa Korupsi Timah Suparta Meninggal, Kejagung Tempuh Jalur Perdata
allintimes.com – Terdakwa Korupsi Timah Suparta Meninggal – Kejaksaan Agung (Kejagung) tengah mempersiapkan langkah hukum untuk memastikan negara tetap mendapat ganti rugi sebesar Rp 4,57 triliun terkait dengan kasus korupsi pengelolaan timah yang melibatkan Suparta, Direktur Utama PT Refined Bangka Tin (RBT).
Suparta, yang sebelumnya telah divonis bersalah atas kasus tindak pidana korupsi dan pencucian uang terkait izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk, meninggal dunia pada Senin, 28 April 2025, di RSUD Cibinong, Jawa Barat.
Proses Hukum yang Menghadapi Suparta
Suparta divonis oleh Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta dengan hukuman penjara selama 19 tahun, sebuah vonis yang lebih berat dari keputusan pengadilan tingkat pertama yang hanya menjatuhkan 8 tahun penjara. Selain hukuman penjara, Suparta juga diwajibkan untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 4,57 triliun. Jika tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, seluruh harta kekayaan Suparta akan disita oleh jaksa.
Sebagai informasi, Suparta sebelumnya terlibat dalam kasus pengelolaan timah ilegal yang merugikan negara hingga mencapai Rp 300 triliun sepanjang periode 2016-2021. Keberadaan PT Timah dalam kasus ini menjadi pusat perhatian karena telah terbukti terlibat dalam praktik penambangan timah yang melanggar ketentuan perundang-undangan, sehingga merugikan keuangan negara.
Tindak Lanjut Kasus Setelah Kematian Suparta
Setelah dinyatakan meninggal dunia, status hukum Suparta otomatis gugur sesuai dengan ketentuan Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang menyebutkan bahwa seorang terdakwa yang meninggal dunia tidak dapat lagi dilanjutkan proses hukum pidananya.
Namun, beban mengganti kerugian negara tidak serta-merta gugur. Hal ini mengacu pada Pasal 34 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, yang menyatakan bahwa meskipun terdakwa meninggal dunia, ahli warisnya tetap dapat diminta untuk mengganti kerugian negara yang ditimbulkan akibat tindak pidana tersebut.
Dengan demikian, Kejagung berencana untuk menempuh jalur perdata dalam upaya menuntut ahli waris Suparta agar tetap memenuhi kewajiban mengganti kerugian negara. Langkah ini diambil agar hak negara atas kerugian yang ditimbulkan akibat tindak pidana korupsi tetap terlindungi.
Gugatan Perdata Terhadap Ahli Waris Suparta
Menurut Harli Siregar, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, meskipun proses hukum pidana terhadap Suparta telah berakhir dengan kematiannya, langkah perdata tetap bisa dilanjutkan. Pasal 34 UU Tipikor memberikan landasan bagi negara untuk melakukan perampasan aset milik Suparta yang dapat digunakan untuk mengganti kerugian negara.
Jika ahli waris Suparta tidak dapat membayar jumlah yang ditetapkan, maka aset yang ditinggalkan oleh Suparta dapat disita melalui proses hukum yang berlaku.
“Langkah perdata ini diambil agar negara tidak kehilangan hak untuk memperoleh kembali kerugian materiil yang diakibatkan oleh tindak pidana korupsi tersebut,” ujar Harli.
Sikap Kejagung terhadap Kematian Suparta
Kematian Suparta menjadi momen yang sulit dalam proses hukum ini. Meski demikian, pihak Kejagung menyatakan akan tetap melanjutkan langkah-langkah hukum untuk memastikan negara tidak dirugikan lebih jauh. Suparta, yang saat meninggal dunia masih berstatus sebagai terdakwa yang mengajukan kasasi, memunculkan tantangan hukum baru yang harus dihadapi oleh pihak berwenang.
Kejagung berharap bahwa upaya yang dilakukan melalui jalur perdata ini dapat memastikan bahwa negara tetap mendapatkan haknya, meskipun terdakwa telah meninggal dunia. Dengan begitu, pembebanan tanggung jawab terhadap kerugian negara tetap dapat dipertahankan, meskipun tidak dapat dilakukan melalui jalur pidana lagi.
Kesimpulan
Kematian Suparta membuka babak baru dalam proses hukum kasus korupsi yang melibatkan pengelolaan timah di PT Timah Tbk. Meskipun status hukumnya telah gugur, upaya Kejagung untuk memastikan pengembalian kerugian negara tidak berhenti.
Negara masih berhak untuk menuntut ahli waris Suparta melalui jalur perdata guna mengganti kerugian yang ditimbulkan akibat tindak pidana yang dilakukan oleh almarhum. Hal ini menjadi bukti bahwa sistem hukum Indonesia tetap berkomitmen untuk melindungi kepentingan negara dalam setiap kasus korupsi.