Bentrok di Perbatasan RI–Timor Leste: WNI Tertembak, Sengketa Tapal Batas Memanas

Foto: Humas Polda NTT

allintimes.com | Timor Tengah Utara – Suasana tegang menyelimuti Desa Imbate, Kecamatan Bikomi Nilulat, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Nusa Tenggara Timur, Senin (25/8/2025). Seorang warga negara Indonesia, Paulus Kaet Oki, harus dilarikan ke rumah sakit setelah terkena peluru karet yang ditembakkan aparat keamanan Timor Leste. Insiden ini menjadi alarm serius atas rapuhnya stabilitas di kawasan perbatasan Indonesia–Timor Leste.

Kronologi Insiden Berdarah di Tapal 36

Bentrok bermula saat aparat Unit Polisi Perbatasan (UPF) Timor Leste bersama tim survei hendak memasang patok batas negara di Tapal 36, Dusun Nino. Puluhan warga setempat menolak keras langkah tersebut. Mereka menilai tindakan Timor Leste sepihak dan mengabaikan proses diplomasi yang masih berjalan antara kedua negara.

Sekitar 24 warga menghadang aparat dengan teriakan protes. Suasana memanas ketika aparat Timor Leste melepaskan tembakan ke udara. Namun, beberapa tembakan diarahkan ke kerumunan warga. Sedikitnya delapan kali letusan terdengar. Paulus yang berdiri di barisan depan tertembak di bahu kanan.

Korban segera dilarikan ke RSUD Kefamenanu untuk mendapatkan perawatan. “Kami hanya ingin mempertahankan tanah kami, tapi malah ditembak,” ujar seorang saksi mata yang enggan disebutkan namanya.

Reaksi Cepat Aparat Indonesia

Forkopimda TTU bersama TNI dan Polri segera turun ke lokasi untuk mengendalikan keadaan. Aparat Indonesia meminta warga menahan diri agar bentrokan tidak meluas. Kapolres TTU menegaskan bahwa peristiwa ini harus diusut tuntas, namun melalui mekanisme hukum dan diplomasi.

“Kami mengutamakan keselamatan warga. Sengketa batas wilayah bukan persoalan yang bisa diselesaikan dengan kekerasan,” ujar Kapolres.

Pemerintah pusat melalui Kementerian Luar Negeri RI juga dikabarkan tengah berkomunikasi intens dengan otoritas Timor Leste. Insiden ini diyakini akan dibawa ke meja perundingan bilateral.

Luka Lama yang Belum Sembuh

Sejak Timor Leste merdeka tahun 2002, persoalan batas darat dengan Indonesia memang menjadi pekerjaan rumah yang tak kunjung tuntas. Dari total sekitar 900 kilometer garis batas, sebagian besar telah disepakati. Namun, beberapa titik seperti Noelbesi–Citrana dan Bijael Sunan–Oben masih menyisakan sengketa.

Menurut laporan The Jakarta Post, meski kedua negara berkomitmen menyelesaikan masalah ini lewat diplomasi, gesekan kecil di lapangan sering terjadi. Bagi warga lokal, batas negara bukan hanya soal garis di peta, melainkan juga menyangkut akses lahan, sumber air, dan ladang penghidupan.

Analisis Geopolitik: Antara Diplomasi dan Identitas

Pengamat hubungan internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, menilai bentrokan di Imbate menunjukkan rapuhnya kepercayaan publik terhadap mekanisme diplomasi. “Ketika masyarakat merasa tanah leluhur mereka diambil, penyelesaian diplomatik sering dianggap tidak memadai. Padahal, negara harus menjaga kedaulatan tanpa mengorbankan warga sipil,” ujarnya.

Timor Leste sendiri berada pada posisi geopolitik yang rumit. Negara ini masih sangat bergantung pada dukungan internasional, terutama dari Australia dan negara-negara Barat. Dalam konteks itu, setiap perundingan batas dengan Indonesia bukan hanya soal teknis, melainkan juga ujian kedaulatan nasional.

Bagi Indonesia, menjaga stabilitas perbatasan di NTT sangat penting, mengingat wilayah itu kerap disebut sebagai “halaman depan republik”. Konflik sekecil apa pun berpotensi dimanfaatkan oleh pihak luar untuk menggoyang hubungan bilateral.

Dampak Sosial-Ekonomi bagi Warga Perbatasan

Bentrok seperti ini selalu meninggalkan trauma mendalam bagi masyarakat perbatasan. Warga hidup dalam ketakutan akan kehilangan lahan pertanian, padahal ladang dan kebun adalah sumber utama penghidupan.

Selain itu, aktivitas ekonomi lintas batas yang selama ini membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari terancam lumpuh. Warga biasanya melakukan perdagangan kecil di perbatasan—menjual hasil tani, ternak, dan kebutuhan pokok. Namun pasca-insiden, banyak yang khawatir jalur akses ditutup aparat.

Menurut data BPS NTT, tingkat kemiskinan di kabupaten perbatasan seperti TTU dan Belu masih di atas 20 persen. Artinya, setiap gejolak keamanan akan semakin menekan kehidupan masyarakat yang rentan.

Pesan untuk Pemerintah: Diplomasi yang Lebih Tegas

Insiden di Imbate menegaskan bahwa penyelesaian sengketa batas RI–Timor Leste tidak bisa ditunda lagi. Pemerintah perlu mengedepankan diplomasi tingkat tinggi dengan menuntut pertanggungjawaban Timor Leste atas penggunaan senjata terhadap warga sipil.

Selain itu, penguatan edukasi batas negara kepada masyarakat menjadi krusial. Banyak warga yang belum sepenuhnya memahami posisi resmi garis batas, sehingga mudah tersulut emosi saat melihat aparat asing masuk ke wilayah yang mereka klaim sebagai tanah leluhur.

Kesimpulan: Menjaga Damai di Garis Batas

Bentrok yang melukai Paulus Kaet Oki adalah pengingat bahwa perdamaian di perbatasan rapuh dan membutuhkan perhatian serius pemerintah. Indonesia dan Timor Leste harus segera menyelesaikan sengketa batas melalui jalur diplomasi, sembari memastikan hak-hak warga perbatasan terlindungi.

Hutan, ladang, dan tanah leluhur bukan hanya soal ekonomi, melainkan juga soal identitas. Jika konflik tapal batas terus berulang, yang paling menderita adalah rakyat kecil.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *