Santri, Media Sosial, dan Jurnalisme Etis: Perlawanan terhadap Disinformasi Digital
allintimes.com – Meminjam istilah Jhon Keane (1998), zaman sekarang dapat disebut sebagai masa keberlimpahan komunikasi (communicative abundance). Era ini ditandai dengan kemudahan memperoleh informasi dari berbagai kanal media yang dimiliki masyarakat. Kemudahan tersebut muncul seiring dengan banyaknya media-media baru seperti media sosial, yang memungkinkan informasi tidak hanya diakses melalui media arus utama (mainstream media) seperti televisi, koran, dan radio, tetapi juga secara cepat melalui smartphone, tablet, dan gadget lainnya yang terhubung dengan internet.
Perkembangan teknologi komunikasi yang semakin canggih dan akses internet yang meluas memunculkan istilah era digital. Dalam era ini, khalayak umum dapat dengan mudah berinteraksi, bertukar, dan mencari informasi melalui gadget yang terhubung internet. Akses tersebut difasilitasi oleh aplikasi media sosial yang berkembang sebagai bentuk media baru untuk memenuhi kebutuhan manusia dan menghadapi tantangan zaman.
Di media sosial, pengguna tidak lagi sekadar menjadi konsumen informasi seperti pada zaman media mainstream. Mereka juga dapat menjadi produsen informasi melalui berbagai bentuk konten seperti pesan singkat di WhatsApp, postingan di Instagram, video, gambar, dan lain-lain. Bahkan, pengguna media sosial dapat berperan sebagai jurnalis, membentuk opini publik, dan memengaruhi persepsi massa melalui fitur-fitur yang tersedia.
Namun, kemudahan ini juga menimbulkan risiko besar, terutama terkait penyebaran informasi palsu (hoaks). Konten yang tidak bertanggung jawab dapat menyebar luas dengan cepat, menimbulkan dampak negatif seperti kerusuhan, kepanikan massal, perpecahan sosial, dan pengaruh negatif terhadap opini publik di berbagai tingkat, dari skala kecil seperti komunitas lokal hingga skala nasional dan internasional.
Dalam menghadapi tantangan penyebaran informasi di era media sosial, diperlukan peran aktif dari komunitas yang memiliki kompetensi dan tanggung jawab moral dalam menyebarkan berita dan konten yang akurat. Meski idealnya, jurnalis profesional menjadi garda terdepan, penerapan ini tidak mudah dilakukan secara luas karena membutuhkan edukasi yang masif dan pengawasan ketat. Oleh karena itu, santri dan aktivis diharapkan dapat menjadi lapis kedua yang turut menyebarkan dan memproduksi konten yang bertanggung jawab dan beretika di media sosial.
Mengapa Santri dan Aktivis?
Pertanyaan utama adalah, mengapa santri dan aktivis dipercaya untuk bergotong-royong menyebarkan informasi dan berita yang dapat dipertanggungjawabkan? Di era digital yang serba cepat ini, penyebaran informasi sulit dikendalikan dan kecepatan menyebarnya berita tidak selalu diiringi dengan validitasnya. Oleh karena itu, diperlukan sikap cerdas, teliti, dan sikap tabayyun (klarifikasi) dalam menerima dan menyebarkan informasi.
Di pesantren, santri diajarkan untuk selalu bersikap tabayyun—memverifikasi kebenaran informasi sebelum menyebarkannya. Nilai tersebut tertanam melalui pembelajaran di bilik-bilik pesantren, diskusi organisasi, dan pelatihan karakter yang menanamkan nilai-nilai kejujuran, keadilan, dan tanggung jawab sosial. Dengan bekal tersebut, santri dan aktivis sudah cukup mumpuni dalam membaca situasi dan menyaring informasi yang benar dan berfaedah.
Peran Santri dalam Dunia Jurnalistik dan Pemberitaan
Bagaimana santri dapat berperan dalam dunia jurnalistik? Berdasarkan prinsip yang diajarkan di pesantren, santri mampu menerapkan sikap tabayyun dalam memberitakan informasi yang sudah jelas kebenarannya. Mereka dapat melakukan skema klarifikasi, mengkaji sumber, dan memastikan informasi tersebut tidak mengandung hoaks sebelum menyebarkannya ke masyarakat.
Lebih jauh lagi, santri dapat turut serta membuat konten tandingan atau berita alternatif yang berisi klarifikasi dan verifikasi. Hal ini sejalan dengan nilai-nilai pesantren yang menekankan verifikasi dan kebenaran, serta prinsip jurnalistik yang mengedepankan objektivitas, independensi, dan keberpihakan pada kepentingan publik. Dengan demikian, santri tidak hanya sebagai konsumen berita, tetapi juga sebagai produsen informasi yang bertanggung jawab.
Menghadapi Fenomena Citizen Journalism dan Disinformasi
Dalam era citizen journalism, segala berita dapat viral secara cepat tanpa melalui proses verifikasi yang memadai. Oleh karena itu, santri harus mampu turut berperan aktif dalam memproduksi konten yang mampu meng-counter berita viral yang tidak jelas kebenarannya. Mereka dapat menyebarkan nilai-nilai kejujuran, keteguhan prinsip, dan verifikasi melalui konten edukatif, infografis, dan video yang menjelaskan kebenaran fakta sehingga masyarakat tidak mudah tergiring opini yang salah.
Peran santri dan aktivis dalam menghadapi tantangan disinformasi di dunia digital sangat penting. Mereka dapat menjadi garda terdepan yang memproduksi dan menyebarkan konten yang beretika dan bertanggung jawab, serta mampu memperkuat keberadaan jurnalisme yang berdasarkan prinsip kebenaran dan keadilan. Dengan bekal nilai-nilai keagamaan dan pendidikan yang telah diberikan di pesantren, santri memiliki potensi besar untuk menjadi agen perubahan dalam membendung penyebaran berita palsu dan memperkuat jurnalisme etis di era digital.
Penulis : Muhammad Reza Pahlevi ( Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga )