Babak Baru Politik Jepang: Sayap Kanan Bangkit, Koalisi Pemerintah Goyah
allintimes.com – Jepang, negeri sakura yang selama ini dikenal stabil secara politik, kini tengah memasuki babak baru yang penuh ketidakpastian. Dalam pemilu terbaru yang digelar pada Minggu (20/7/2025), koalisi pemerintahan yang dipimpin Perdana Menteri Shigeru Ishiba mengalami pukulan telak.
Partai-partai populis sayap kanan meraih lonjakan suara yang signifikan, hingga membuat koalisi pemerintahan kehilangan kursi mayoritas di majelis tinggi parlemen.
Fenomena ini bukan hanya soal pergeseran kursi parlemen, tapi juga merupakan sinyal kuat bahwa populisme sayap kanan kini mulai mencengkeram Jepang. Sebuah fenomena yang sebelumnya lebih sering terjadi di belahan dunia Barat, kini menjalar ke Asia Timur.
Kekalahan Koalisi Ishiba: Awal dari Krisis Legitimasi?
Koalisi pemerintahan Jepang yang terdiri dari Partai Demokrat Liberal (LDP) dan Partai Komei gagal mempertahankan mayoritas di majelis tinggi. Dari total 248 kursi di majelis tersebut, sebanyak 125 kursi diperebutkan dalam pemilu kali ini.
Sayangnya, koalisi hanya terpaut tiga kursi dari batas mayoritas. Meskipun selisihnya kecil, dampaknya besar. Ini adalah kekalahan kedua yang dialami koalisi dalam sembilan bulan terakhir, setelah sebelumnya kalah dalam pemilu dini pada Oktober 2024.
Perdana Menteri Shigeru Ishiba tetap bersikeras tidak akan mundur. Dalam pernyataannya, ia mengatakan akan “menerima hasil ini dengan rendah hati” dan tetap menjalankan tanggung jawab sebagai pemimpin pemerintahan. Namun demikian, posisinya kini sangat goyah.
Koalisi tidak hanya menghadapi tekanan dari luar, tapi juga dari dalam. Tokoh senior konservatif LDP, seperti Taro Aso, secara terbuka menyatakan tidak bisa lagi menerima Ishiba sebagai pemimpin Jepang. Ancaman mosi tidak percaya pun kini mengintai dari berbagai penjuru. Meskipun oposisi belum sepenuhnya bersatu untuk membentuk koalisi alternatif, peluang untuk menjatuhkan PM Ishiba tetap terbuka lebar.
Kebangkitan Sayap Kanan: Faktor Kemarahan Publik dan Krisis Ekonomi
Salah satu hal paling mencolok dalam pemilu ini adalah lonjakan suara yang diraih oleh dua partai populis sayap kanan: Partai Sanseito dan Partai Demokrat untuk Rakyat.
1. Partai Sanseito
Didirikan hanya lima tahun lalu, Partai Sanseito mengalami peningkatan kursi yang dramatis di majelis tinggi, dari 2 menjadi 14 kursi. Slogan kampanye mereka, “Utamakan Jepang”, merefleksikan sikap xenofobia dan penolakan terhadap kebijakan imigrasi.
Partai ini dengan tegas menuduh pemerintahan Ishiba menjalankan “kebijakan imigrasi terselubung” dengan merekrut pekerja asing secara besar-besaran untuk mengatasi krisis demografi Jepang. Menurut mereka, kehadiran hampir 4 juta penduduk asing—naik 10 persen dibanding tahun sebelumnya—mengancam harmoni sosial di Jepang.
Pendiri partai, Sohei Kamiya, secara terbuka menyatakan bahwa mereka meniru model politik ekstrem kanan dari Eropa, seperti partai AfD di Jerman. Strategi ini terbukti efektif menarik simpati kalangan muda yang kecewa pada sistem yang mereka anggap stagnan dan tidak berpihak pada generasi muda.
2. Partai Demokrat untuk Rakyat
Partai ini berhasil meningkatkan jumlah kursinya dari 9 menjadi 17 dan kini menjadi kekuatan ketiga terbesar di parlemen. Dipimpin oleh tokoh karismatik Yuichiro Tamaki, partai ini fokus pada isu pemotongan pajak dan kesejahteraan ekonomi rakyat. Popularitasnya naik tajam karena berhasil menyoroti kekecewaan masyarakat atas inflasi dan stagnasi upah yang terjadi dalam tiga tahun terakhir.
Menurut analis politik Tobias Harris, dua partai ini berhasil memanfaatkan kemarahan publik terhadap gerontokrasi, inflasi yang terus melonjak, dan tidak adanya reformasi nyata dalam kebijakan ekonomi.
Pemerintahan Ishiba di Ujung Tanduk
Meski masih menjabat, masa depan politik PM Ishiba sangat tidak pasti. Saat ini, ia hanya bisa berharap pada kerja sama taktis dengan partai-partai kecil dan anggota parlemen independen. Namun strategi ini memiliki keterbatasan dan sangat bergantung pada kompromi yang mahal secara politik.
Salah satu isu utama yang menimbulkan ketegangan adalah pajak. Ishiba sebelumnya menolak tuntutan penurunan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas makanan. Sebagai gantinya, ia menjanjikan pembayaran tunai sebesar 20.000 yen (sekitar Rp 2,2 juta) kepada setiap warga sebagai kompensasi atas dampak inflasi.
Sayangnya, kebijakan ini dipandang populis dan tidak menyelesaikan akar masalah yang sebenarnya, yaitu rendahnya daya beli dan ketimpangan ekonomi.
Upaya untuk memperluas koalisi dengan partai oposisi besar juga tampak tidak realistis. Banyak pihak dari kubu oposisi telah menyatakan keraguannya terhadap kemampuan Ishiba untuk tetap menjabat dalam jangka panjang.
Realitas Politik Baru di Jepang
Dengan hasil pemilu terbaru ini, Jepang memasuki era baru dalam peta politik nasional. Koalisi yang selama ini menguasai parlemen nyaris tanpa hambatan kini menghadapi tekanan luar biasa dari partai-partai baru yang agresif, vokal, dan punya daya tarik tersendiri di kalangan pemilih muda dan kelas menengah bawah.
Berakhirnya dominasi satu warna di politik Jepang bukan sekadar perubahan peta kekuatan parlemen, tetapi juga pertanda bahwa masyarakat Jepang menginginkan perubahan nyata, cepat, dan relevan dengan kehidupan mereka sehari-hari. Ketidakpuasan terhadap penurunan upah riil, inflasi tinggi, dan kebijakan yang tidak responsif menjadi bahan bakar bagi munculnya populisme.
Namun, lonjakan kekuatan sayap kanan juga menimbulkan kekhawatiran. Isu-isu seperti xenofobia, nasionalisme ekstrem, dan penolakan terhadap pluralisme dapat mengancam stabilitas sosial jangka panjang jika tidak diimbangi dengan pendekatan politik yang inklusif dan berbasis pada prinsip demokrasi.
Apa yang Akan Terjadi Selanjutnya?
Beberapa skenario mungkin akan terjadi dalam waktu dekat:
-
Mosi Tidak Percaya: Jika oposisi berhasil menyatukan kekuatan, mereka bisa menggulingkan Ishiba melalui mosi tidak percaya di parlemen.
-
Kongres Luar Biasa LDP: Partai Demokrat Liberal (LDP) bisa saja menggelar kongres darurat untuk mencari pengganti Ishiba.
-
Pemilu Baru: Jika kebuntuan politik tidak terpecahkan, maka pemilu baru mungkin akan diadakan dalam waktu dekat untuk mencari legitimasi baru.
-
Perubahan Arah Kebijakan: Ishiba bisa saja bertahan dengan mengadopsi sebagian agenda oposisi, misalnya penurunan pajak atau pembatasan imigrasi, meskipun ini berarti pengkhianatan terhadap garis kebijakan partainya sendiri.
Kesimpulan
Pemilu Jepang 2025 menandai babak baru dalam sejarah politik Jepang, di mana kestabilan lama digantikan oleh dinamika baru yang lebih kompleks. Bangkitnya partai-partai populis sayap kanan adalah cerminan dari kegelisahan rakyat terhadap kondisi ekonomi dan sosial yang stagnan.
Bagi Perdana Menteri Shigeru Ishiba dan koalisi pemerintahannya, tantangannya kini bukan hanya mempertahankan kekuasaan, tetapi juga menjaga legitimasi politik dan kepercayaan publik. Di tengah pusaran konflik internal, tekanan eksternal, dan tuntutan rakyat, satu hal pasti: Jepang tidak akan lagi sama seperti sebelumnya.