Kenapa Indonesia Masih Impor Bensin dari Singapura? Fakta & Solusi
allintimes.com | Indonesia sering disebut negara kaya sumber daya alam—cadangan minyaknya mencapai sekitar 4,8 miliar barel, dan memproduksi sekitar 580.000 barel minyak mentah per hari. Namun faktanya, negara masih impor bensin dari Singapura, yang bahkan tidak punya ladang minyak. Menteri SDM Bahlil Lahadalia menyebut impor itu mencapai sekitar 50–59% dari total impor BBM Indonesia. Kalau begitu, apa penyebabnya?
Kendala Kapasitas Pengolahan Dalam Negeri
Indonesia memiliki cadangan melimpah, tapi keterbatasan kapasitas kilang jadi hambatan utama. Menurut data EIA, kapasitas penyulingan total Indonesia hanya sekitar 1,1 juta barel per hari pada 2020. Sementara, kebutuhan BBM di dalam negeri di kisaran 1,6 juta barel per hari. Artinya, ada defisit hingga 500.000 barel per hari yang harus ditutupi dari impor.
Singapura: Kilang Raksasa & Harga Kompetitif
Singapura impor minyak mentah dari berbagai negara—termasuk Indonesia—dan memiliki kilang kelas dunia dengan kapasitas 1,4 juta barel per hari. Kapasitas ini jauh melebihi konsumsi domestiknya, yakni hanya sekitar 150.000 barel per hari . Oleh karena itu, negara yang tak punya ladang minyak ini justru menjadi pemasok utama BBM, termasuk ke Indonesia.
Rugi dalam Rantai Ekonomi Migas
Indonesia sering mengekspor minyak mentah di harga rendah, lalu mengimpor bensin dari Singapura yang harganya jauh lebih tinggi. Tahun 2024, nilai impor BBM dari Singapura mencapai sekitar USD 11,4 miliar (~Rp 189 triliun). Angka itu menyiratkan bahwa setengah triliun rupiah habis setiap hari hanya untuk impor BBM. Kondisi ini menciptakan kebocoran neraca migas yang signifikan.
Baca juga: 9 Manfaat Donor Darah Secara Rutin untuk Kesehatan Tubuh dan Mental
Upaya Diversifikasi Impor BBM
Pemerintah kini ingin mengurangi ketergantungan impor dari Singapura, bahkan menargetkan pengurangan hingga 60–100% dari total impor BBM. Alternatifnya adalah impor dari Timur Tengah dan Amerika Serikat—berharap harga dan harga logistik bisa lebih kompetitif.
Namun, impor dari AS bisa punya risiko: biaya kirim hingga 40 hari, meningkatnya biaya logistik, serta ketidaksesuaian spesifikasi BBM untuk kilang lokal. Pengamat ekonomi UGM Fahmy Radhi mengingatkan, pengalihan impor harus diiringi pengecekan teknis dan harga yang seimbang.
Solusi Jangka Panjang: Tingkatkan Kapasitas & Hilirisasi
Untuk independen energi, Indonesia perlu fokus:
- Menambah kapasitas kilang domestik: pemerintah telah menargetkan pembangunan kilang dengan kapasitas hingga 1 juta barel per hari pada berbagai pulau (Kalimantan, Sulawesi, Papua).
- Memperluas hilirisasi: pasok industri petrokimia, BBM, dan LPG agar nilai tambah tak lekas diekspor.
- Optimalisasi kilang lama: kapasitas eksisting harus didorong agar bisa beroperasi di atas rata-rata 73% pemakaian .
Strategi ini akan mengurangi impor dan biaya logistik, serta mendukung pengembangan ekonomi energi domestik secara berkelanjutan.
Mandiri Energi Bukan Mimpi
Indonesia memiliki cadangan minyak dan kapasitas kilang yang terbatas saat ini, sehingga impor bensin dari Singapura menjadi solusi praktis—meski mahal. Namun, Indonesia kini memiliki momentum untuk:
- Mengurangi ketergantungan impor,
- Membangun kilang baru,
- Mengalihkan pasokan secara bertahap ke negara produsen,
- Menjaga harga dan ketersediaan BBM saat transisi.
Langkah ini jika dirancang matang dan inklusif akan menjaga kedaulatan energi dan memperkuat ekonomi nasional.
Bagikan artikel ini jika kamu sepakat bahwa Indonesia harus fokus membangun industri hilir migas sendiri. Tinggalkan komentar: menurut kamu, apa prioritas utama agar energi kita jadi mandiri—kilang baru, teknologi, atau regulasi?