Saigō Takamori: Legenda Samurai Terakhir dari Jepang
allintimes.com | SEJARAH – Akhir abad ke-19 adalah masa pergolakan besar dalam sejarah Jepang. Setelah lebih dari dua abad berada dalam sistem feodal Tokugawa (Edo), negeri ini dipaksa membuka diri oleh kedatangan armada Komodor Perry dari Amerika Serikat (1853). Gelombang modernisasi yang kemudian dikenal sebagai Restorasi Meiji (1868) mengubah struktur politik, sosial, dan militer Jepang.
Namun, perubahan besar itu juga menimbulkan konflik antara nilai lama dan baru. Salah satu tokoh yang paling menonjol dalam pergulatan tersebut adalah Saigō Takamori (1828–1877). Dikenal sebagai “Samurai Terakhir,” Saigō berperan penting dalam kelahiran era Meiji, tetapi kemudian berbalik menentang pemerintah yang ia bantu dirikan.
Latar Belakang dan Masa Muda
Saigō Takamori lahir di Kagoshima, Provinsi Satsuma (sekarang Prefektur Kagoshima) pada tahun 1828. Satsuma adalah salah satu domain samurai terkuat di Jepang, terkenal karena tradisi militer dan disiplin keras. Saigō tumbuh dalam keluarga samurai kelas rendah, tetapi melalui keberanian dan kepemimpinan, ia berhasil naik ke jajaran elit militer Satsuma.
Ia dikenal sebagai pribadi sederhana, jujur, dan memiliki keyakinan moral yang kuat. Nilai bushidō (jalan ksatria) sangat mempengaruhi hidupnya: loyalitas, kehormatan, dan keberanian menjadi prinsip utama yang ia pegang hingga akhir hayat.
Peran dalam Restorasi Meiji
Pada pertengahan abad ke-19, Jepang menghadapi tekanan dari negara Barat untuk membuka perdagangan. Saigō termasuk samurai Satsuma yang mendukung perubahan, melihat bahwa modernisasi militer dan politik diperlukan agar Jepang tidak dijajah.
Ia bersekutu dengan tokoh-tokoh penting dari domain Satsuma dan Chōshū, termasuk Ōkubo Toshimichi dan Kido Takayoshi, yang bersama-sama menggulingkan Keshogunan Tokugawa. Keberhasilan mereka melahirkan Restorasi Meiji (1868), yang mengembalikan kekuasaan politik ke Kaisar.
Ironisnya, kemenangan itu justru menjadi awal konflik batin Saigō. Modernisasi membawa Jepang ke arah sistem barat: samurai kehilangan status istimewa, pedang tradisional dilarang, dan pajak serta wajib militer diterapkan. Bagi Saigō, nilai dan martabat samurai terancam punah.
Kekecewaan terhadap Pemerintah Meiji
Meski awalnya menjadi salah satu pemimpin penting era baru, Saigō mulai kecewa dengan arah kebijakan pemerintah Meiji. Ada beberapa alasan utama:
- Kehilangan Privilege Samurai: Golongan samurai dipaksa melebur ke masyarakat umum. Gaji tetap mereka dihapus, dan hak membawa katana (pedang) dicabut.
- Modernisasi Barat yang Cepat: Saigō menilai perubahan itu terlalu drastis, mengorbankan tradisi Jepang.
- Isu Invasi Korea (Seikanron): Saigō mengusulkan Jepang mengekspansi Korea, sebagian untuk memberi jalan bagi samurai yang kehilangan peran. Namun usulan ini ditolak.
Konflik ideologi ini memperlebar jurang antara Saigō dan sahabat lamanya, Ōkubo Toshimichi, yang lebih pragmatis dalam menerima model Barat.
Pemberontakan Satsuma (1877)
Ketegangan memuncak pada Pemberontakan Satsuma (1877). Saigō, yang sudah pensiun ke Kagoshima, menjadi simbol perlawanan samurai. Para mantan samurai berkumpul mendukungnya, marah atas kebijakan pemerintah Meiji.
Pasukan pemberontak berjumlah sekitar 40.000 orang, meskipun sebagian besar hanya bersenjata pedang tradisional, berhadapan dengan tentara pemerintah yang dilengkapi senjata modern hasil impor Barat.
Pertempuran berlangsung sengit selama beberapa bulan. Puncaknya terjadi di Shiroyama, Kagoshima, pada 24 September 1877. Pasukan Saigō yang tersisa, hanya beberapa ratus orang, dikepung ribuan tentara pemerintah. Meski kalah jumlah dan senjata, mereka bertempur sampai titik darah penghabisan.
Legenda menyebutkan bahwa Saigō terluka parah lalu melakukan seppuku (ritual bunuh diri samurai) untuk mempertahankan kehormatan. Namun, beberapa catatan sejarah menyatakan ia mungkin tewas karena peluru sebelum bisa melakukannya.
Warisan dan Julukan “Samurai Terakhir”
Meski pemberontakan gagal, Saigō dikenang sebagai pahlawan rakyat. Bagi banyak orang Jepang, ia adalah lambang kesetiaan, kehormatan, dan keberanian seorang samurai. Pemerintah Meiji sendiri, meski sempat melawannya, akhirnya memulihkan reputasi Saigō dengan memberikan rehabilitasi anumerta pada tahun 1889.
Kisahnya menembus batas waktu dan budaya. Patung perunggu Saigō berdiri di Ueno Park, Tokyo, sebagai penghormatan. Di dunia internasional, sosoknya menginspirasi film “The Last Samurai” (2003) yang dibintangi Tom Cruise, meskipun film itu mengambil banyak kebebasan artistik.
Saigō Takamori dalam Sejarah Modern
Sejarawan menilai Saigō bukan hanya tokoh romantis, melainkan juga simbol kontradiksi Jepang pada abad ke-19. Ia sekaligus pionir modernisasi dan penentang modernisasi; seorang revolusioner yang kemudian menjadi pemberontak.
Warisan Saigō mengajarkan bahwa modernisasi selalu membawa dilema: antara menjaga tradisi dan menerima perubahan. Bagi Jepang, peristiwa ini menjadi pelajaran penting dalam menemukan jalan tengah antara nilai asli dan pengaruh luar.
Penutup
Kisah Saigō Takamori memperlihatkan pergulatan identitas sebuah bangsa. Sebagai “Samurai Terakhir,” ia tidak sekadar tokoh sejarah, tetapi juga legenda yang mengajarkan arti keberanian, kesetiaan, dan harga diri. Dalam perjalanan panjang Jepang menjadi kekuatan modern, nama Saigō tetap terukir sebagai simbol bahwa dalam setiap perubahan, ada harga yang harus dibayar—dan ada tradisi yang patut dikenang.